lrrenjun

Setelah menghabiskan waktu selama hampir 3 jam untuk berkeliling sekaligus membaca buku-buku dengan genre menarik, kini keduanya berjalan beriringan keluar dari perpustakaan besar itu. Senyum tak sedikitpun luntur dari bibir ranum Naura. Melakukan library date terlebih bersama Rayden benar-benar membuatnya senang. Ingatkan ia untuk menandai hari ini sebagai hari paling spesial dalam hidupnya.

“Seneng?”

Naura menatap Rayden gemas. “Masih nanya? Seneng banget, lah!” Serunya kelewat antusias.

Terkekeh pelan, tangan Rayden terulur mengacak surai panjang Naura. “Sekarang mau ke mana lagi?”

“Mau jajan boba!” Naura menarik Rayden agar berjalan lebih cepat. Mereka berjalan di trotoar, menghampiri beberapa pedagang yang berada di pinggir jalan.

Melihat pedagang corn dog yang tak jauh di depannya membuat Naura dilanda bimbang. “Mau corn dog juga.” Gumamnya lesu. Gadis itu menatap pedagang corn dog dan pedagang boba yang berada di sebrang sana secara bergantian. “Pilih yang mana, ya?”

Rayden terkekeh kecil. Padahal tinggal membeli keduanya, kenapa juga harus memilih? Pikirnya dalam hati. “Kamu beli corn dog aja, boba nya biar aku yang beli.”

Lantas Naura memekik senang. “Beneran??” Tanyanya yang diangguki Rayden.

“Yaudah, corn dog nya beli dua, ya.”

Naura mendorong punggung Rayden dengan pelan agar laki-laki itu bergegas membeli boba yang berada di sebrang sana. “Hati-hati nyebrangnya, jangan lupa beli dua!” Setelah memastikan bahwa Rayden sampai di pinggir pedagang boba dengan selamat, Naura segera membeli corn dog nya.

15 Menit berlalu, kini dua corn dog hangat berada di tangan Naura. Sama halnya dengan Rayden yang kini tengah menatapnya dari sebrang sana. Sepertinya laki-laki itu juga telah selesai membeli.

Memastikan jalanan mulai kosong, Rayden melangkah maju. Menatap Naura tanpa menyadari bahwa ada sebuah mobil yang melaju dari arah kanan. Mulanya, Naura ikut tersenyum. Namun saat menyadari keberadaan mobil yang melaju itu, tanpa babibu ia langsung menarik Rayden mendekat. Membuat tubuh mereka kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke pinggir secara bersamaan. Boba beserta corn dog yang mereka beli bahkan sudah berhamburan di jalanan.

Rayden meringis pelan. Ia yakin bahwa sikunya yang terbentur dengan tanah terluka, terbukti dengan rasa perih yang bukan main. Naura beranjak berdiri, tak mengindahkan rasa ngilu di lututnya. Gadis itu membantu Rayden berdiri. “You okey?” Tanyanya panik.

“Gapapa, tenang aja.”

Tatapan Naura beralih pada sebuah mobil yang hampir menabrak Rayden. Meski sudah melaju jauh, namun Naura masih dapat melihat dengan jelas plat nomor mobil itu.

B 4040 AN

Mobil itu? Naura membatin dalam hatinya. Matanya membola saat mengetahui mobil milik siapa itu. Meski berusaha berpikir positif, tapi melihat bagaimana saat mobil itu dengan sengaja melaju kencang ke arah Rayden membuat Naura tak habis pikir. Jika saja dirinya terlambat sedetik saja saat menarik Rayden, mungkin kini laki-laki juli itu akan terkapar dengan banyak darah di jalanan.

Rayden menatap Naura yang melamun. Raga gadis itu memang berada di depannya, namun sepertinya pikiran Naura berada di tempat lain. Meski telah dipanggil berkali-kali, Naura tak juga menanggapi. Rayden kemudian meraih pundak Naura, membuat ia tersentak kaget.

“Hey, are you okey?”

“Ah, maaf.” Jawab Naura gelagapan. Ia beralih menatap Rayden, “Ada yang luka, gak?”

Rayden membuka mantelnya, memperlihatkan sikunya yang berdarah kepada Naura. “Pantesan aja perih.” Gumamnya.

“Astaga,” Naura menatap sekeliling, ia menarik Rayden saat melihat sebuah Alfamart yang tak jauh di depan sana.

“Tunggu di sini, ya.” ucapnya saat Rayden duduk di bangku yang kebetulan sekali terletak di depan Alfamart.

Setelah Naura mulai masuk ke dalam, pikiran Rayden berkecamuk. Memikirkan kejadian di jalan tadi. Rayden cukup pintar untuk menyadari bahwa si pengendara mobil itu sengaja ingin menabraknya. Tapi siapa pengendara itu? Rayden merasa ia tidak memiliki musuh. Nama Marvel sempat terlintas dipikirannya, sebelum laki-laki itu sadar bahwa kini ia tidak memiliki masalah lagi dengan Marvel.

“Sini, liat lukanya.” Suara yang terdengar khawatir itu membuyarkan lamunan Rayden. Diarahkan tangan kanannya ke hadapan Naura, saat gadis itu duduk di sampingnya.

Naura mengobati Rayden dengan telaten. Mengambil beberapa gumpalan kapas dan menyiramnya perlahan dengan alkohol. Ia membersihkan luka Rayden dengan perlahan. Ringisan yang keluar dari mulut Rayden tanpa sadar membuat Naura ikut meringis. Pasti perih sekali. Setelah dirasa darah tak lagi ada di luka yang cukup besar itu, Naura menempelkan plester luka di siku Rayden dengan hati-hati.

“Akhirnya selesai.” Kata Naura sembari menatap Rayden dengan senyum manisnya.

Lantas Rayden ikut tersenyum. “Thanks.”

“Kamu gak ada yang luka?” Tanya Rayden. Seingatnya tadi gadis itu juga meringis saat mereka jatuh bersamaan.

Naura menggeleng. “Gak ada kok, tadi cuma ngerasa ngilu aja di lutut.”

Mengangguk mengerti, Rayden beralih menatap jalanan. “Tadi itu siapa ya, Ra?”

Pertanyaan itu membuat Naura yang semula tengah membereskan peralatan yang dia pakai tadi, membeku mendengarnya. Ia menggeleng lirih. “Aku gak tahu. Mungkin orang itu gak sadar kamu mau nyebrang.” ucapnya berbohong. Tidak mungkin kan, Naura mengatakan bahwa seseorang yang hampir menabrak Rayden adalah tunangannya?

Meski ragu, pada akhirnya Rayden tetap mengangguk. Hening sejenak sebelum suara notifikasi dari handphone Rayden mengalihkan atensi mereka. Lagi, laki-laki juli itu dibuat bingung saat membaca pesan yang masuk.

Selamat, ya? Hari ini lo masih beruntung.

Tunggu balasan selanjutnya.

Rayden mendesis marah. Jadi yang hampir menabraknya tadi adalah si peneror yang selalu mengganggu hari-harinya? Keterlaluan. Rayden tak akan tinggal diam, dia akan mencari tahu siapa si peneror itu. Cukup sampai di sini hidupnya di usik oleh orang yang bahkan tak Rayden ketahui.

“Rayden?” Naura menatap Rayden heran. Laki-laki di sampingnya terlihat marah. Tatapan tajam itu sama seperti tatapan yang pernah Rayden beri saat berada di perpustakaan setahun yang lalu.

Naura mendekat, menatap layar handphone Rayden yang masih menyala. Ia terkejut bukan main, nomor asing itu adalah nomor yang jelas sekali Naura ketahui. Jadi, selama ini Rayden diteror?

“Thanks ya, Kak. Novelnya bakal gue balikin setelah 2 minggu.”

Seperti yang sudah Naura katakan kepada Widya, ia akan menemui kakak tingkatnya untuk meminjam novel. Kini kedua gadis itu berada di perpustakaan kampus, lebih tepatnya berdiri di depan perpustakaan.

Jesi tersenyum simpul. “Santai aja, mau sampai sebulan juga silahkan. Lagian gue udah selesai baca novel itu, kok.”

“Kalo sebulan sih kelamaan.” Sahut Naura seraya terkekeh kecil. “Serius, thanks banget karena mau luangin waktu buat ketemu sama gue.”

“Astaga, santai aja kali, Ra.” ucap Jesi tak habis pikir. Gadis cantik itu menatap Naura sejenak. “Lo udah kayak sama siapa aja. Inget, kita itu temenan, oke? Lo adek tingkat paling baik yang pernah gue kenal.”

Tawa Naura mengudara di antara ramainya mahasiswa yang berlalu lalang. “Lo berlebihan banget, Kak.”

“Ya, lo abisnya canggung banget sama gue.” Gerutu Jesi.

“Yaudah iya, sorry.”

“Kalo gitu gue balik ke kelas dulu, ya. Lo udah gak ada kelas, kan? Hati-hati pulangnya.” Kata Jesi yang dibalas Naura dengan anggukan.

Setelah kakak tingkatnya itu berlalu pergi dan keberadaannya mulai tak terlihat, Naura memasukkan novel yang ia pinjam ke dalam tas miliknya.

Gadis itu hendak berjalan, sebelum suara yang tak asing menghentikan pergerakannya.

“Gue lihat akhir-akhir ini lo makin deket ya sama Rayden?” Naura menoleh menatap Ratu yang tiba-tiba saja berada di belakangnya.

“Pacaran?” Tanya Ratu, lagi.

Naura mendengus. “Bukan urusan lo.”

Tertawa kecil, Ratu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Well, emang bukan urusan gue, sih.”

Ratu melangkah mendekati Naura. “Tapi kedekatan kalian tuh, mengganggu gue banget.”

“Kenapa? Cemburu?” Tanya Naura, heran. Bukankah Ratu sudah menjalani hubungan bersama laki-laki lain? Baginya, tidak etis jika masih mengharapkan laki-laki lain disaat diri sendiri sudah memiliki pasangan.

“Right but wrong.” Jawab Ratu tak jelas. “Tapi itu bukan point utamanya.”

“Masa bodoh dengan point utama atau point apapun itu, yang jelas this is none of your business.” Katakanlah ucapannya terlalu kasar, Naura tak peduli. Ratu yang terlalu banyak ikut campur membuatnya muak.

“Bukannya lo udah memilih cowok lain dan lepasin Rayden? So please, berhenti mencampuri urusan Rayden ataupun gue.” Naura memilih melanjutkan langkahnya, tak mengindahkan Ratu yang berjalan mengikuti.

“Asal lo tahu, gue gak akan lepasin Rayden gitu aja kalo bukan karena daddy yang ngancem bakal hapus nama gue dari ahli waris!” Sentak Ratu, kesal.

“Fasilitas gue bakal dicabut kalo aja gue masih ngejar-ngejar Rayden dan gak bisa nerima Marvel dalam hidup gue.”

“Gue lebih baik lepasin Rayden daripada harus jatuh miskin, but that doesn't mean i don't love Rayden anymore!”

Naura masih diam. Mencoba menulikan pendengarannya meski Ratu terus berteriak. Naura yakin, gadis itu pasti kesal karena perkataannya. Namun sekali lagi, Naura tak peduli.

Dapat Naura dengar Ratu tertawa sinis setelahnya. Langkahnya dipercepat, membuat Ratu mau tak mau mencoba menyamai langkahnya. “Lo ini sasimo juga, ya?”

Perkataan sarkas itu mampu membuat Naura berhenti. Ia menatap Ratu yang kini sedang menatapnya remeh. “Maksud, lo?”

Tatapan tajam yang Naura berikan tak membuat Ratu terusik sedikitpun. Ia malah semakin merasa senang jika Naura mulai terpancing. “Gue akui gue emang cewek gila yang terobsesi sama Rayden, tapi gue gak sehina lo.”

Naura berdecih tak suka. “Gak usah bertele-tele, maksud lo apa?”

Ah, puas sekali rasanya ketika bisa memojokkan Naura. Ratu berjalan mengitari Naura, “Deketin Rayden disaat lo sendiri memiliki tunangan. Kira-kira gimana ya tanggapan orang-orang tentang lo? Sasimo? Murahan?” Tanya Ratu sembari menatap Naura. Nada suaranya dibuat seolah-olah sedang terkejut sekaligus penasaran.

Untuk sesaat, Naura merasa dunianya berhenti berputar. Gadis itu beralih menatap Ratu. “Lo, tahu darimana?”

“Itu gak penting.” Jawab Ratu, acuh.

Baru ingin bersuara Ratu kembali menginterupsi. “Lo gak boleh serakah, Naura. Gak mikir gimana perasaan tunangan lo? Lo pikir tunangan lo itu bodoh ya buat gak menyadari kedekatan lo sama Rayden? Gue rasa di sini lo yang bodoh. Sebenarnya gue gak peduli sama tunangan lo itu, tapi di sini Rayden ikut terlibat. Dia jadi duri dalam hubungan kalian berdua dan gue gak mau Rayden terluka. Lo egois—”

“Berhenti.” Naura menyela. Ditatapnya Ratu dengan tajam, tatapannya seolah akan menguliti Ratu hidup-hidup. “Tutup mulut lo, gue gak butuh omong kosong lo itu.”

Naura memilih berjalan meninggalkan Ratu. Ia terlalu takut untuk mendengar semua perkataan Ratu yang seratus persen adalah kebenaran.

Ratu menyeringai puas. Jika Ratu tak bisa memiliki Rayden, maka akan ia buat Naura menyingkir dalam kehidupan Rayden. “Harus ada yang lo pilih, Rayden atau tunangan lo itu. Cepat atau lambat lo harus bisa memilih, Naura.”

“Memilih Rayden yang baru datang tapi menghadirkan perasaan dalam hati lo atau memilih orang yang udah bertahun-tahun berjuang sama lo, tunangan lo sendiri.”

Dalam hati Naura berharap bahwa ia tuli. Semua yang Ratu ucapkan berhasil membuatnya takut. Tak ada yang bisa gadis itu lakukan, membela diri pun rasanya tak sanggup. Maka dengan begitu, Naura berlari sekencang mungkin. Ia hanya ingin menghindari Ratu, menghilang dari hadapan gadis licik itu.

Naura menutup gerbang rumahnya secara perlahan. Kemudian gadis itu berlari kecil ke arah mobil Rayden yang terparkir di ujung sana. Naura mengetuk kaca mobil bagian pengemudi. Hingga saat kaca itu mulai menurun, Naura bersuara. “Gak nunggu lama, kan?”

“Enggak, ayo naik.”

Naura mengangguk. Ia berjalan memutar untuk naik ke jok di samping Rayden. Saat dirasa Naura sudah duduk dengan nyaman Rayden mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu untuk memasangkan seatbelt. Naura menahan nafas saat itu juga. Jarak mereka terlalu dekat dan dia bisa mencium aroma bunga iris dan nilam yang berasal dari tubuh Rayden.

“Nafas, Ra. Jangan ditahan.” Perkataan dengan unsur meledek itu praktis membuat Naura membuang muka. Karna gemas Rayden tak tahan untuk mengacak surai panjang gadis yang ada di sampingnya itu.

“Kita mau ke mana?”

“Ke mana aja, yang penting seru.”

“Aku tadi liat ada pasar malam. Mau ke sana?”

“Boleh.”

Saat mobil mulai melaju Naura sibuk menatap jalanan lewat jendela. Gadis itu tengah mencoba mengendalikan rasa gugupnya. Ditengah kegugupan yang ia rasakan, Naura memegang dadanya dengan tangan kanan. Sesuatu di dalam sana berdetak dua kali lebih cepat.

Haruskah dia bereaksi berlebihan seperti ini? bukannya apa-apa. Naura hanya takut Rayden mendengar suara detak jantungnya yang berisik. Tanpa ia sadari laki-laki di sampingnya mati-matian berusaha terlihat biasa saja. Berbanding terbalik dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang.

Apa jatuh cinta memang seperti ini?


Rayden keluar dari mobil terlebih dahulu. Lalu ia berjalan memutar berniat membukakan pintu untuk Naura.

Rayden menuntun Naura keluar, dengan satu tangan berada di atas kepala gadis itu, melindunginya agar tidak sampai terbentur atap mobil. Meraih tangan Naura untuk digenggam, Rayden tersenyum simpul. “Ayo.” Ajaknya.

Mereka berjalan beriringan diantara banyaknya manusia yang berlalu lalang. Naura mengedarkan pandangannya. Lampu warna-warni, teriakan, tawa dan hiruk pikuk keramaian yang ada di sini membuatnya antusias seketika.

Matanya kini tertuju ke arah wahana bianglala yang sedang berputar. Bianglala adalah satu wahana yang tidak boleh dilewatkan saat datang ke pasar malam. Tanpa sadar gadis itu menarik Rayden berlari mendekati bianglala.

“Ayo naik bianglala.” Naura memekik antusias.

Di sinilah mereka sekarang, di wahana bianglala yang cukup besar. Naura memperhatikan beberapa bangunan yang menjulang tinggi dari atas wahana tersebut. Cahaya lampu yang menerangi perumahan terlihat indah jika dilihat dari atas seperti ini.

Naura berdecak kagum. “Rayden, liat deh cantik banget, ya?” Tunjuknya pada pemandangan di bawah sana.

Namun, alih-alih menatap pemandangan yang ditunjuk, Rayden malah fokus menatap Naura. “Iya, cantik.” Gumamnya.

Merasa diperhatikan Naura beralih menatap Rayden. Untuk beberapa saat tatapan mereka terkunci. Bolehkah Naura berteriak sekarang? Tatapan teduh yang diberikan oleh Rayden menyengat relung hatinya.

“Ada yang aneh di muka aku?” Tanyanya hati-hati. Melihat Rayden yang mengangguk, buru-buru Naura meraba wajahnya. “Serius?” Rautnya wajahnya yang panik praktis membuat Rayden terkekeh geli.

“Iya, terlalu cantik sampai buat aku gagal fokus.” Dasar gombal. Naura memalingkan wajahnya begitu saja. Mati-matian berusaha menahan bibirnya yang berkedut.

Naura menatap ke bawah. Dalam hatinya, dia berdoa agar bianglala ini cepat berhenti berputar. Rasanya Naura tidak akan tahan jika terus ditatap intens oleh Rayden lebih lama lagi. Saat bianglala berhenti berputar, Naura langsung turun dari sangkar besi itu. Disusul Rayden di belakangnya.

“Mau ke mana lagi?” Tanya Rayden.

“Mau itu.” Naura menunjuk pedagang permen kapas di ujung sana. Lantas Rayden mengangguk mengiyakan. Laki-laki pemilik mata boba itu menggandeng tangan Naura. Sepertinya menggandeng tangan Naura akan menjadi salah satu favoritnya mulai sekarang.

“Tunggu di sana. Biar aku yang beliin.” ucap Rayden sambil menunjuk bangku yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Naura mengangguk. Ia berjalan beberapa langkah lalu duduk di bangku itu. Netranya tak lepas dari orang-orang yang sedang berlalu lalang. Ada yang datang bersama keluarga, sahabat bahkan pacar. Lalu dia datang bersama, uhm—pacar?

Sadar bahwa pikirannya sudah berkeliaran tak tentu arah, Naura segera menggelengkan kepalanya. Mana ada pacar, yang ada cuma temenan doang. batinnya menggerutu. Beberapa kali gadis itu memukul pelan kepalanya sendiri.

Hingga beberapa detik kemudian Rayden datang dan menahan tangannya. “Hey, ngapain?” Ia menyodorkan satu permen kapas yang langsung diterima oleh Naura.

Tangan Rayden terulur mengusap kepala yang baru saja dipukul oleh sang empunya, sebelum bergabung duduk di samping Naura.

“Ngapain mukul kepala sendiri?”

“Gapapa.”

“Jangan diulangi.”

Naura mengangguk. Mereka mulai menikmati permen kapas milik masing-masing. Entah refleks atau apa, Naura menyandarkan kepalanya ke sebelah pundak Rayden. Sedangkan tangannya asik mencubiti permen kapas dan memakannya. Menikmati rasa manis dan tekstur lembut dari permen itu.

Permen kapas itu terasa terlalu manis. Namun sepertinya ada yang lebih manis, apalagi kalau bukan momen mereka berdua. Saat permen kapas itu telah habis, Naura beranjak berdiri. Gadis itu mengulurkan tangannya yang langsung digenggam oleh Rayden.

“Ayo keliling.” Naura menampilkan senyum terbaiknya kepada Rayden, yang membuat laki-laki itu ikut tersenyum.

Mereka berjalan beriringan. Naura menatap risih para gadis yang mengagumi Rayden secara terang-terangan. Tiba-tiba saja dia merasa gerah. Rayden yang melihat itu menarik Naura untuk berjalan lebih cepat. Malam ini udara terasa lebih dingin. Maka Rayden membawa tangan Naura masuk ke dalam saku hoodie yang ia kenakan.

Naura meresponnya dengan senyuman manis. Mengeratkan jemarinya di dalam genggaman Rayden, sesekali mengusap punggung tangan Rayden dengan ibu jarinya.

“Naura.”

“Hm?”

“Gue— maaf, aku boleh tanya sesuatu gak?”

“Apa?”

“Kencan apa aja yang kamu impikan?”

Naura nampak berpikir. “Library date, beach date, sunset date, dan terakhir museum date!”

Rayden menghentikan langkahnya, membuat Naura ikut berhenti. Mereka menatap satu sama lain. Diantara banyaknya orang yang ada di sini, netra Rayden hanya terpaku pada gadis yang ada di hadapannya.

“Kalau gitu, ayo kita jalanin semua kencan itu satu-persatu.” Tuturnya sambil menampilkan senyum yang paling Naura sukai.

Rayden menghampiri keluarganya yang sedang berjongkok di samping makam sang bunda dengan tangan yang menggandeng Naura. Entah refleks atau apa ia tak berniat melepaskan genggaman itu bahkan setelah mereka ikut bergabung di samping makam Renata.

“Selamat ulang tahun, Bunda.”

“Apa kabar di sana? Rayden harap bunda selalu bahagia. Bunda pasti kaget, ya? karna kali ini mama ikut datang.” Rayden menunduk. “Rayden minta maaf karna pernah larang mama buat kunjungin bunda. Tolong jangan marah. Hari ini Rayden temuin bunda dengan versi yang lebih baik.”

Untuk sesaat Rayden menatap Naura sebelum kembali beralih menatap bundanya. “Kata Naura, Rayden dengan versi yang lebih baik adalah hal yang paling bunda tunggu.”

Naura tak berani mengangkat suara. Dia merasa malu karna Rayden berbicara seperti itu. Terlebih lagi tatapan Ardan membuat ia semakin merasa canggung. Lain lagi dengan Mela dan Artha, mereka menatapnya sambil tersenyum. Sungguh, Naura dilanda gugup sekarang.

“Naura.”

Naura tersentak kecil kala Rayden memanggilnya. “Iya?”

“Bunga nya.”

“Ah, iya.” Naura refleks melepaskan genggamannya bersama Rayden. Dia meletakkan buket bunga mawar yang sedari tadi dipegangnya menggunakan tangan kiri di atas makam Renata.

“Selamat ulang tahun, Bunda.” ucapnya sambil tersenyum. “Naura gak bisa ngasih apa-apa buat bunda, sebagai gantinya Naura akan memastikan bahwa Rayden hidup dengan baik.”

“Kebahagiaan Rayden akan menjadi hal yang paling Naura utamakan.”

Pernyataan yang terdengar tulus itu mampu menarik sudut bibir Ardan membentuk sebuah senyuman. Sepertinya, Rayden telah menemukan rumah yang selama ini dia cari.

Manis sekali. Rayden sampai mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ia takut mereka melihat wajahnya yang mungkin saja merah karna salah tingkah.

Artha terkekeh. “Cielah, romantis banget.”

“Kalian ini pacaran, ya?” Tanya Mela. Astaga, mereka terlihat seperti remaja yang baru saja pacaran. Menggemaskan.

Rayden buru-buru menggeleng. “Kita cuma temenan, ma.”

“Friendzone.” Gumam Artha sambil terkikik geli. Lantas Rayden memberi tatapan tajam untuk kakaknya itu yang hanya dibalas sebuah cengiran.

Naura berdeham. Apa yang diucapkannya memang tulus. Namun, sepertinya dia memilih waktu yang tidak tepat. Mengatakannya langsung di depan keluarga Rayden? Naura merutuki kebodohannya.

Mereka pasti akan salah paham mengenai hubungannya bersama Rayden. Terdengar menyakitkan memang, tapi kenyataan bahwa ia dan Rayden hanya berteman tak bisa dibantah oleh hal apapun.

Ardan beranjak berdiri diikuti Mela dan Artha. Matanya menyipit karena silau oleh cahaya matahari yang siang ini bersinar terang. Ia menunduk menatap putra bungsunya. “Rayden, mau terus di sini?” Tanyanya yang diangguki Rayden.

“Papa duluan gapapa? hari ini di kantor ada meeting penting.” kata Ardan, meminta izin.

Rayden mendongak kemudian ia tersenyum singkat. “Iya, papa pergi aja. Makasih ya pa udah luangin waktu datang ke sini.”

Diusapnya surai si bungsu dengan lembut, Ardan tersenyum. “Papa pergi dulu.” Pamitnya.

Pria paruh baya itu beralih menatap Naura. “Terimakasih banyak Naura, karena sudah datang ke sini.”

Dengan begitu Naura mengangguk. Senyum tak sedikitpun luntur dari bibirnya saat menatap kepergian mereka. Setelah ketiga orang itu menaiki mobil, Naura beralih menatap Rayden.

“Bunda, Rayden kangen...”

“Ada banyak hal yang Rayden takuti selama bunda gak ada di sisi Rayden. Tapi sejauh ini Rayden hebat, kan? bang Artha menjaga Rayden dengan sangat baik.”

Rayden semakin menunduk. Ia mencoba menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. Punggungnya yang sedikit bergetar membuat Naura sadar bahwa laki-laki itu sedang menangis. Meski sempat ragu, pada akhirnya Naura menarik Rayden ke dalam dekapannya.

Diusapnya punggung Rayden dengan lembut. Tangis yang semakin pecah itu benar-benar menyakiti relung hatinya. “Jangan takut.”

“I will always be here for you under any circumstances, I promise.” Bisiknya pelan.

Rayden melepaskan pelukan itu. Dia berdiri membuat Naura juga ikut berdiri. Kedua tangannya meraih tangan Naura untuk digenggam. Masih dengan mata yang memerah, Rayden menatap Naura lamat. “May I say that I love you?”

Pertanyaan itu praktis membuat Naura terdiam. Apa ia salah dengar? pikirannya berkecamuk. Perlahan, Naura mengangguk mengabaikan batinnya yang sedang berperang.

“Mencintai lo adalah hal yang gak pernah gue pikirkan sekalipun. Gue gak pernah berniat buat jatuh terlalu dalam, gue tahu dariawal niat lo emang cuma ngebantu gue. Tapi semua perlakuan lo buat gue lupa diri sampai perasaan ini tiba-tiba aja muncul tanpa gue sadari.”

“Naura, gue gak tahu gimana jadinya hidup gue tanpa lo. I love you in every way I can.”

Selama hidupnya Naura selalu menuruti semua perkataan kedua orang tuanya. Naura akan menjalankan apa yang sudah seharusnya dijalani meski ia tak suka. Dia selalu berusaha menerima takdir. Tanpa mengeluh dan mencoba berhenti.

Maka hari ini izinkan dia untuk egois. Sekali saja. Dengan perasaan yang membuncah Naura memeluk Rayden. “I love you too, Rayden.” katanya.

Dan tiba-tiba saja hujan turun begitu deras. Mereka masih memeluk satu sama lain. Tak berniat berlari untuk sekedar meneduh. Hari itu tanpa sadar mereka telah melewati batas yang sudah ditentukan oleh takdir.

Naura tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas dia mengaku bahwa kini hatinya telah jatuh kepada laki-laki yang ia peluk sekarang.

Tolong tetap di sini. Jangan pergi meski nanti kamu telah mengetahui semuanya. Naura membatin dalam hati.


Rayden mengulurkan secangkir susu coklat panas kepada Naura. Tadinya ia berniat menembus jalan hingga pulang. Namun melihat Naura yang menggigil kedinginan membuat Rayden memutuskan untuk meneduh disebuah warung kecil. Meski ia tahu itu sia-sia karna seluruh tubuh mereka sudah basah total.

Hujan masih belum berhenti. Rayden ikut bergabung duduk di samping Naura. Perasaan canggung menyelimuti mereka. Tak ada yang berniat bersuara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Menatap rintik hujan yang terus jatuh dalam diam.

Tak tahan dengan keheningan yang terjadi, Rayden bersuara. “Ra, jadi hubungan kita itu apa?” Oke. Rayden telah meruntuhkan egonya dengan bertanya seperti itu.

Naura yang sedang menyeruput susu coklat panasnya hampir tersedak saat mendengar pertanyaan itu. Lantas Rayden panik dibuatnya.

“Lo gapapa? sorry...” Sesal Rayden sambil mengelus punggung Naura.

“Haha, gue gapapa kok.” Naura tertawa canggung.

Rayden mengangguk. “Abisin susu nya, kita pulang sekarang.” Katanya sebelum meneguk susu coklat panasnya hingga tandas.

Naura mengangguk. Ia menghabiskan susu coklat miliknya. Saat cangkirnya telah kosong Rayden mengambil alih cangkir itu untuk dikembalikan kepada ibu pemilik warung. Disaat Rayden tengah sibuk membayar, Naura melamun. Pertanyaan Rayden tadi membekas diingatannya. Saat Rayden kembali mempertanyakan hal itu, ia harus menjawab bagaimana? Haruskah dia jujur bahwa selama ini ia memiliki tuna—

“Ayo, Ra.” Ajakan Rayden membuyarkan lamunannya. Naura beranjak berdiri dan mengikuti Rayden menghampiri motor laki-laki itu.

Saat Rayden telah menyalakan motornya, Naura kemudian menaiki motor itu. Dia tersenyum malu-malu saat Rayden meraih kedua tangannya agar memeluk laki-laki juli itu. Motor itu melaju membelah jalanan. Beruntung hujan telah reda, menyisakan beberapa genangan air di setiap sudut jalan dengan bau petrichor yang menenangkan.

Tak butuh waktu lama motor itu kini berhenti tepat di depan rumah Naura. Rayden menatap Naura yang sudah turun dari motornya. “Langsung mandi ya, Ra. Biar gak sakit”

Naura mengangguk sebagai jawaban. “Lo juga. Hati-hati di jalan, kalau udah sampe kabarin gue.”

“Iyaa.”

“Gue masuk sekarang, ya.” Setelah mendapat persetujuan dari Rayden, Naura membuka gerbang rumahnya. Gadis itu menghentikan pergerakannya saat Rayden kembali memanggil.

“Kenapa?” Naura berjalan mendekati Rayden.

“Naura, gue gak akan menuntut lo buat memperjelas hubungan kita. Tahu kalau perasaan gue terbalas aja itu udah lebih dari cukup.” Tangannya terulur mengacak surai Naura. Dengan senyum yang terpatri di bibir, Rayden kembali bersuara. “Jadi jangan terlalu dipikirin, oke? kita ikutin aja alurnya.”

“Masuk, gih. Gue pulang sekarang.” Rayden kembali menyalakan motornya. Kemudian dia melajukan motornya meninggalkan Naura yang masih berdiri di depan rumahnya sendiri.

“Inget, obatnya jangan lupa diminum.” ucap Jeffery saat Rayden beranjak berdiri.

“Kalau ada keluhan atau kamu merasa tidak bisa mengatasi sesuatu, kamu bisa hubungi saya.” Lanjutnya.

Rayden mengangguk. “Terimakasih, dokter Jeffery.”

Naura yang duduk tak jauh dari mereka, lantas berdiri saat dirasa Rayden telah selesai. Ngomong-ngomong, ruangan Jeffery sangat luas. Mungkin bisa dibilang hampir mirip sebuah ruang keluarga. Ada beberapa sofa dan juga televisi. Sedangkan meja kerja si dokter muda itu hanya disekat oleh kaca bening dan berada tak jauh dari tempatnya menunggu sekarang.

Rayden berjalan melewatinya. Laki-laki itu memberi isyarat lewat mata agar Naura mengikutinya. Naura menatap Jeffery terlebih dahulu, kemudian ia berseru. “Kami pulang dulu, dokter!”

Jeffery yang semula sedang membaca beberapa berkas, mendongak mendengar suara Naura. Dokter muda itu tersenyum hingga menampilkan dimple nya. “Hati-hati di jalan. See you in two weeks!”

Naura hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman. Setelah itu dia berlari kecil menyusul Rayden yang sudah keluar dari ruangan Jeffery.

“Lo hari ini free, kan?” Pertanyaan itu terdengar sesaat setelah Naura menutup pintu ruangan Jeffery.

Gadis itu mendelik kesal sebelum menjawab. “Bikin kaget aja! iya, hari ini gue free. Kenapa?”

Tanpa menjawab Rayden menggenggam tangan Naura, kemudian menariknya begitu saja.

“Eh, lo mau bawa gue kemana? Pelan-pelan dong jalannya!” Protes Naura. Sementara kedua kakinya mencoba menyamakan langkah Rayden.

Rayden menghentikan langkahnya. Dia menatap Naura yang nampaknya terlihat kesal. “Jalan gue terlalu cepet?”

“Iya!” Naura mendengus.

“Yauda, kita jalan pelan-pelan.”

“Mau kemana, sih?”

“Rooftop.”

“Ngapain?”

“Cari angin.”

“Kan, di luar juga ada angin?”

“Di rooftop adem.”

Rayden menatap Naura sebelum gadis itu kembali bertanya. “Udah, sutt diem. Jangan banyak nanya, ikutin gue aja.” Katanya.

Naura buru-buru mengulum bibirnya. Ingin bertanya lebih lanjut tapi tatapan Rayden seolah mengatakan bahwa ia tidak bisa dibantah.

Dengan tangan yang saling bertautan mereka masuk ke dalam lift. Setelah menekan tombol paling atas dan lift mulai berjalan, Rayden melirik Naura lewat ekor matanya. Dia tersenyum samar, gadis itu benar-benar diam sekarang.

Pintu lift terbuka membuat Naura tanpa sadar melepaskan tautan mereka. Naura keluar terlebih dahulu, dia menatap takjub langit yang saat ini terlihat sangat cantik. Naura baru sadar bahwa hari sudah sore, membuat langit di atas sana terlihat begitu menawan dengan warna jingganya.

“Rayden, ini keren banget!” Pekiknya antusias.

Rayden tak menggubris. Laki-laki itu mengambil tempat duduk di tepi rooftop dan melihatnya Naura memutuskan untuk ikut duduk di sampingnya.

Naura menekuk kedua kakinya. Ia mengambil nafas kemudian menghembuskannya secara perlahan. Langit senja ditambah angin yang berhembus perlahan membuat dirinya merasa tenang. Diam-diam Naura melirik Rayden. Dalam hati dia bertanya-tanya ; Jadi, apa sebenarnya tujuan laki-laki juli itu mengajaknya ke sini?

“Naura.”

“Y-ya?” Naura merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba saja merasa gugup.

“Lo kangen Aden, gak?” Tanya Rayden. Matanya tak lepas dari langit di atas sana.

“Eum, mungkin?” Jawab Naura, ragu. Naura mengakui dalam hati bahwa ia memang sering kali merindukan sisi little Rayden disela waktu senggangnya. Tapi untuk mengucapkannya secara terang-terangan, Naura sempat sangsi. Dia takut pernyataannya akan menyinggung Rayden.

“Gue ngerasa asing sama diri sendiri. Rasanya kaya ada yang hilang dalam diri gue.” Rayden beralih menatap Naura, “Kenapa dia gak pernah datang lagi? bahkan disaat gue ngerasa stres.”

“Itu artinya sekarang lo bisa mengontrol diri sendiri, Ray. Lo bisa mengatasi rasa stres itu sampai Aden ngerasa gak perlu mengambil alih pikiran lo.”

“Harusnya gue gak usah terapi aja, ya?”

Mendengarnya sontak Naura menatap Rayden. “Maksud lo? kita udah melangkah terlalu jauh, Rayden. Pertanyaan lo itu terlontar di waktu yang gak tepat.”

Rayden menghela nafas. “Lo aja kangen Aden, Ra. Apalagi keluarga gue?”

“Dibanding merindukan Aden, kita lebih mau yang terbaik buat lo.”

Rayden terdiam. Harusnya tadi dia tidak usah mengangkat topik ini. Terlalu berat sampai membuat kepalanya pusing hanya dengan memikirkannya.

“Jangan pernah menyesali apa yang udah lo jalani. Terlepas dari itu sia-sia ataupun engga, itu udah jadi keputusan diri lo sendiri. Dengan begitu lo cuma harus terus jalanin semuanya, sampai Tuhan meminta lo buat berhenti.”

Sore itu Rayden benar-benar menyesal karena telah membicarakan topik yang seharusnya dia hindari. Namun, semua perkataan Naura berhasil menembus pikirannya dan meruntuhkan seluruh benteng egonya.


Suara notifikasi yang tak kunjung berhenti mengalihkan atensi Rayden. Ia menatap jam dinding di ujung sana. Jam menunjukkan pukul 2 lebih 15 menit. Rayden mendengus, siapa yang mengirimnya pesan selarut ini?

Dengan malas Rayden meraih handphonenya yang berada di atas nakas. Laki-laki itu membenarkan posisinya menjadi menyandar ke headboard. Ia menekan empat angka sebelum layar itu menunjukkan sebuah roomchat yang akhir-akhir ini sering sekali muncul.

Jangan jatuh cinta.

Know your limit.

Rayden menghela nafas. Siapa yang iseng mengirimnya pesan tak jelas seperti ini? Awalnya Rayden pikir pesan-pesan itu hanya iseng belaka. Atau bisa saja si pengirim salah sambung. Namun, apanya yang iseng jika pesan itu muncul setiap hari? bahkan dikirim oleh nomor yang sama.

Tanpa berniat membalas, Rayden menyimpan kembali handphonenya. Berbaring lalu menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Rayden merasa ia butuh istirahat untuk menjalani hari esok. Mungkin nanti ia harus mencari tahu siapa dalang dibalik semua pesan itu.

Naura duduk termenung di meja nya. Pesanan caffe latte miliknya bahkan tak ia hiraukan sedikitpun. Pikirannya berlari pada saat Artha menemuinya di cafe kala itu. Juga pada perkataan Artha beberapa hari yang lalu melalui chat. Sebenarnya, Naura sempat sangsi untuk menerima permintaan Artha. Pasti sesulit itu membujuk Rayden agar laki-laki itu mau menjalani terapi, sampai-sampai keluarganya sendiri angkat tangan dan meminta tolong padanya.

Namun bagaimanapun, Naura membenarkan perkataan Artha. Bukannya dia merasa terbebani atau bahkan menganggap Rayden menyusahkan, hanya saja ia sadar bahwa tidak selamanya ia akan selalu ada untuk Rayden. Laki-laki itu tidak boleh bergantung padanya. Ya, tidak boleh.

Suara lonceng kecil di pintu cafe terdengar sangat nyaring. Naura melambaikan tangannya pada sosok laki-laki yang baru saja memasuki cafe dengan terburu-buru.

“Udah nunggu lama?” Pertanyaan itu terlontar sesaat setelah si laki-laki duduk di hadapannya.

Naura menggeleng sebagai jawaban. “Santai aja, Ray. Mau mesen minuman dulu?” Tanya nya.

Rayden terlihat mengatur nafasnya. Sekedar informasi, laki-laki itu telah berlari cukup jauh untuk sampai di cafe ini. Hari ini Rayden tidak membawa motor ke kampus sehingga mengharuskan dia menggunakan taksi. Dan taksi yang ditumpangi nya tiba-tiba mogok di tengah jalan. Sedangkan untuk menunggu taksi di daerah sini sedikit sulit. Alhasil, Rayden nekat berlari untuk menuju cafe ini. Memang jaraknya tidak terlalu jauh, namun jika digunakan untuk berlari cukup menguras tenaga.

Dalam hatinya, Rayden bertanya-tanya. Dia sendiri merasa bingung kenapa ia harus terburu-buru hanya karna tidak mau membuat Naura menunggu lama?

Rayden mengangguk pelan. Kemudian ia mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. “Saya pesan satu americano.”

“Baik. Ada tambahan?” Gelengan dari Rayden membuat pelayan mengangguk dan undur diri. “Tunggu sebentar ya, pesanan akan diantar dalam beberapa menit.”

Melihat pelayan yang sudah pergi, Rayden mengalihkan atensinya pada Naura. “Jadi, ada perlu apa lo minta gue datang ke sini?”

Gerak-gerik Naura yang terlihat ragu membuat Rayden kembali bersuara. “Ngomong aja, gue gak akan marah.”

“Janji gak akan marah?”

“Mau ngomong apaan, sih? kok sampai segitunya.” Pertanyaan Naura tentu membuat Rayden mengernyit heran. Memangnya, hal apa yang akan dibicarakan oleh Naura sehingga membuatnya marah?

“Gue bingung harus mulai darimana.” Gumam Naura pelan.

“To the point aja.”

Menyempatkan diri untuk mengambil nafas, Naura mendongak menatap Rayden. “Ray, lo pernah gak sih kepikiran buat terapi?”

Raut wajah Rayden yang berubah saat dirinya mengucapkan kata terapi. Lantas membuat Naura buru-buru berucap, “Maksud gue-”

“Satu americano nya, Mas.” Ucapan Naura terhenti kala pelayan datang.

“Makasih, Mba.” Naura yang menjawab. Ia sedikit risih dengan tatapan kagum si pelayan kepada Rayden.

“Bisa tinggalkan kami berdua?” Mungkin perkataannya terlalu berlebihan. Tapi Naura merasa bahwa ia memang harus berucap begitu, pasalnya bukannya beranjak pergi si pelayan malah berdiam diri di tempatnya.

“Ah, iya. Maafkan saya.” Ucapnya seraya membungkuk. Setelahnya buru-buru pelayan itu beranjak pergi.

Untuk sesaat, Naura menghela nafas lega. Ditatapnya kembali Rayden yang tak bersuara sedikitpun. Tiba-tiba perasaan cemas menyerbu hatinya. “Lo gak suka ya gue ngomongin soal terapi?”

“Rayden, gue cuma mau yang terbaik buat lo. Kata bang Artha lo se-enggak mau itu buat ngejalanin terapi. Kenapa?”

Rayden menghela nafas. “Guna nya terapi itu apa sih, Ra? gue udah pernah dan enggak ada yang berubah. Gue masih sering kambuh, gue masih sering kali nyusahin orang-orang.”

“Pada kenyataannya gue gak akan pernah bisa sembuh. Terus terapi buat apa? cuma buang-buang waktu.”

Kalau boleh jujur, Rayden membenci keadaan seperti ini. Ia benci ketika harus membicarakan tentang terapi, tentang kesembuhannya. Membicarakan hal-hal yang belum tentu sejalan dengan harapan hanya akan menimbulkan rasa sakit.

“Gue gak suka terapi, Naura.”

Naura terdiam cukup lama. Dia bisa mengerti kenapa Rayden seperti ini. “Menyukai hal yang harus kita jalanin emang gak mudah. Tapi apa salahnya mencoba?”

“Terkadang, hal-hal yang kita gak suka itu justru yang terbaik.”

Entah dorongan darimana, Naura meraih tangan kanan Rayden. Kemudian menggenggamnya dengan sangat erat.

“Pikirin ini baik-baik, ya? Keluarga lo, temen-temen lo, termasuk gue. Kita pengen yang terbaik buat lo, Ray. Kalo emang sesulit itu buat kembali ngejalanin terapi demi kita, setidaknya berusaha demi diri lo sendiri.”


Tengah malam, Rayden terlihat sibuk bermain playstation di dalam kamar. Kedua tangannya dengan lihai mengotak-atik stik ps yang ada digenggamnya. Tiba-tiba laki-laki itu melempar asal stik nya. Rayden mengacak rambutnya frustasi. Niatnya bermain PS tengah malam begini untuk menenangkan pikiran, namun nyatanya perkataan Naura terus terngiang-ngiang di otaknya.

“Terkadang, hal-hal yang kita gak suka itu justru yang terbaik.”

Hatinya beranggapan bahwa yang dikatakan Naura ada benarnya. Namun, logika terus berusaha menepis fakta itu.

Rayden beranjak berdiri kemudian ia membaringkan tubuhnya di kasur. Menjadikan tangan kanannya sebagai bantal. Laki-laki Juli itu menatap langit-langit dengan sendu.

Bayangan tentang apa yang telah Artha lakukan untuknya selama ini, tentang kedua orang tuanya yang sering khawatir mengenai keadaannya, tentang kedua temannya, dan terakhir tentang Naura yang dengan senang hati membantunya untuk waktu cukup yang lama membuat Rayden merasa bersalah.

Jika dipikirkan kembali, ada banyak orang yang telah dia bebani. Mereka pasti muak menghadapi dirinya. Namun, alih-alih pergi dan mengatakan bahwa Rayden adalah orang yang menyusahkan, mereka justru terus menemaninya hingga sekarang. Mendukungnya, meski sering kali keputusan yang Rayden ambil merupakan hal yang kekanak-kanakan.

“Terapi, ya? Haruskah?” Gumam Rayden.

“Kamu cantik banget, pantes aja bunda Renata suka.” Aden tersenyum dengan mata yang berbinar. Tangannya terulur memetik satu bunga mawar yang ada di hadapannya.

Mata boba laki-laki itu menatap kagum mawar yang ada di tangannya. Cantik sekali, mengingatkannya pada masa lalu. Dulu saat dia masih menginjak sekolah dasar, di belakang halaman rumahnya ada taman bunga mawar yang dibuat atas keinginan bunda Renata. Menghabiskan waktu sore bersama bunda dengan menyiram bunga bunga itu adalah hal paling menyenangkan dalam hidupnya.

Namun semuanya berubah semenjak bunda pergi. Taman indah itu sengaja papa bongkar karna mama baru nya —Mela— alergi terhadap bunga. Saat itu adalah pertama kalinya Rayden mulai membenci Ardan. Semua hal tentang Renata selalu dihapus oleh Ardan hanya untuk Mela dan Rayden membenci itu.

Aden menggerutu pelan, “Aden benci papa.”

Dia kembali menatap mawar itu. “Kamu kayak bunda sama kayak kakak cantik juga.”

“Oh, iya?”

Mendengar suara yang sangat dikenalinya itu membuat Aden menoleh ke belakang. Dia meloncat kegirangan melihat keberadaan Naura. “Kakak cantik!”

“Hi, Aden.” Sapa Naura sambil tersenyum. “Lagi ngapain sih sendirian di sini? kakak daritadi liatin Aden dari jauh.”

“Ihh kenapa ndda nyamperin Aden, sihh.” kata Aden cemberut. Kedua kakinya dia hentak-hentakan.

Melihat itu Naura tertawa geli. “Lucu tahu, liat kamu dari jauh. Apalagi waktu kamu ngajak ngobrol bunga-bunga itu.” Tunjuknya pada bunga mawar yang ada di sekeliling mereka.

“Kakak cantik kayak bunga ini.” Aden mengulurkan bunga mawar yang ada di tangannya yang langsung diterima oleh Naura.

“Dan Aden kayak taman ini. Tanpa kakak cantik Aden ndda akan jadi seindah ini!” ucap Aden sambil mengedarkan pandangannya. Menatap taman indah ini yang dihiasi banyak bunga mawar.

Naura tertegun. Gadis itu mendekat dan membawa tubuh Aden ke dalam dekapannya. “Yes, i'm the flower in your life.”

“Thank you my beautiful flower.”

Naura mengendurkan pelukan itu. Dia mengernyit, “Rayden?”

Melihat Rayden yang tersenyum membuat Naura buru-buru melepaskan pelukan itu, namun tertahan karna Rayden kembali memeluknya.

“Gue kangen bunda. Temenin gue buat jenguk dia, ya?”

Naura mengangguk kaku dalam pelukannya. “Sekarang?”

“Iya.” Rayden melepaskan pelukan itu. Kemudian menggandeng tangan Naura untuk berjalan. “Lo bawa mobil?”

“Iya, gue dianter sama supir.”

“Gapapa naik mobil lo?”

“Gapapa, daripada harus jalan?”

Rayden sedikit terkekeh mendengar jawaban itu. Setelah keduanya sampai di hadapan mobil Naura, mereka duduk di kursi belakang. Kemudian mobil itu melaju menuju tempat pemakaman.


“Halo, bunda. Kita ketemu lagi, coba tebak Rayden bawa siapa kali ini?” Itu adalah kalimat pertama yang Rayden lontarkan kala laki-laki itu berjongkok di samping makam Renata.

“Kakak cantiknya Aden,” Rayden menjeda ucapannya, dia beralih menatap Naura yang berjongkok di sisi samping lainnya. “Bunga nya, Rayden.”

Refleks Naura menatap Rayden dalam diam. Rayden membersihkan makam Renata dari daun yang berjatuhan. Mencabuti rerumputan liar yang tumbuh di rumah baru bunda nya. Kemudian setelahnya dia meletakkan satu buket bunga mawar merah, “Kesukaan bunda.” katanya.

“Rayden harap bunda baik-baik aja di sana. Pasti tempat bunda yang sekarang indah banget, ya? sesekali tolong mampir ke mimpi Rayden yaa bunda, I miss you more than life.”

“Jangan lupa buat datang ke mimpi bang Artha juga. He once secretly cried because he missed you,” Rayden tersenyum geli mengingat bahwa dia pernah memergoki Artha yang menangis di kamarnya. Cengeng, pikirnya kala itu. “Padahal dia sendiri yang bilang jangan menangis sendirian. Anak bunda yang satu itu enggak pernah berubah iya, kan? selalu pura-pura kuat di hadapan Rayden.”

“Kepergian bunda merenggut setengah hidup Rayden. Sama halnya seperti taman tanpa bunga, bakal keliatan hampa dan gak bernyawa. Seperti itu Rayden tanpa bunda. Tapi bunda harus tahu satu hal,” Rayden kembali menatap Naura, “perempuan yang ada di hadapan Rayden saat ini menjadi bunga pengganti di taman itu. Cantik, kan?”

Pipi Naura bersemu merah mendengarnya. Dia mengalihkan pandangannya, “You are too much.” Lirihnya.

“I speak as it is.” Rayden kembali menatap makam Renata. “Bunda, Naura udah banyak ngebantu Rayden. Dia ngebuat Aden ngerasa dilindungi dan ngebuat Rayden nyaman. Hebat, ya? sama kayak bunda.”

“Jangan khawatir Rayden akan berpaling dari bunda. Bunda Renata akan selalu menjadi bunga dalam hidup Rayden, tapi sekarang tolong izinkan Naura menjadi bunga Rayden untuk sementara, ya?”

Naura itu bunga. Bunga yang entah siapa pemilik sebenarnya. Tanpa disadari Rayden memiliki bekas luka berbentuk bunga mawar dibawah matanya. Memiliki beberapa kesamaan namun tak bisa bersama. Takdir itu senang sekali bermain-main, ya?

Naura tersenyum canggung kala mama Rayden berjalan menghampirinya. “Selamat siang, tante.”

“Siang cantik, ayo masuk. Aden udah rewel nungguin kakak cantiknya.” ucap Mela sambil menggandeng tangan Naura. Membawa gadis itu masuk ke dalam rumah.

Baru beberapa langkah berjalan ke dalam rumah tangisan Aden sudah terdengar sangat jelas. Saat memasuki ruang keluarga terlihat Ardan yang sedang mencoba menenangkan Aden. Di sampingnya, Ratu juga berusaha membujuk Aden agar dia berhenti menangis.

Untuk sesaat, Naura terdiam. Dapat dia lihat dengan jelas bagaimana sorot mata Ardan yang terlihat khawatir sambil terus berusaha menenangkan Aden. First impression yang dia dapat saat pertama kali bertemu Ardan adalah laki-laki paruh baya itu memiliki kepribadian yang hangat. Tatapannya yang lembut saat menatap Rayden kala itu membuat Naura tertegun. Bagaimana bisa sosok hangat seperti Ardan diam-diam sering memukul anak bungsunya sendiri?

“Kakak cantik!” Seruan dari Aden membuyarkan lamunan Naura. Laki-laki itu berhambur ke dalam pelukannya.

“Aden kangen kakak cantik, ayo kita pulang.” katanya masih sesenggukan.

Tangan Naura terulur mengusap surai Aden. “Pulang kemana? ini kan rumah Aden.”

Mendengar ucapan Naura, Aden menggeleng ribut. “Aden ndda punya rumah. Ini bukan rumah Aden, kakak cantik ayo kita pulang.”

“Aden enggak mau tinggal lebih lama di sini?” Mela bertanya dengan suara yang lembut.

“Ndda mau!”

“Aden enggak kangen papa?” Kali ini Ardan yang bertanya. Yang lagi-lagi dijawab gelengan oleh Aden.

“Ndda, papa jahat!”

Melihat Ardan yang hendak bersuara lagi membuat Naura menggeleng. Mengisyaratkan agar Ardan tidak perlu membalas perkataan Aden. Mau tak mau Ardan kembali diam.

Aden semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Naura. Dia merengek, “Kakak cantik, ayo pulang. Aden mau pulang!”

“Ini waktunya tidur siang, loh. Emang Aden enggak ngantuk?” Tanya Naura.

Di dalam dekapannya Aden mengangguk. “Aden ngantuk,” Lirihnya pelan membuat Naura tersenyum kecil.

“Yauda, tidur siang di sini dulu aja gimana? nanti setelah bangun kita pulang ke apartemen.” Bujuk Naura.

“Beneran nanti pulang?” Aden mendongak menatap Naura.

“Iyaa, nanti kita pulang.”

“Hum yauda, ayo kita bobo.” kata Aden sambil menarik Naura ke lantai atas, menuju kamarnya berada.

Naura mengikuti langkah Aden. Gadis itu sempat menatap Ardan dan Mela untuk meminta izin yang diangguki keduanya.

Melihat Ratu yang hendak menyusul ke atas membuat Ardan mendekat dan mencekal lengan gadis itu. “Kali ini saja, biarkan anak saya bersama Naura dulu.”


Rayden melenguh saat terbangun dari tidurnya. Perlahan, dia membuka matanya dan menatap sekeliling. Rayden refleks menjauhkan tubuhnya saat menyadari bahwa dia tertidur dalam dekapan Naura.

Laki-laki itu bangkit sambil mengacak rambutnya. “Yaelah, pake tidur di sini segala lagi.” kata nya.

Rayden beralih menatap Naura yang sedang tidur. Jika dilihat dari dekat seperti ini, Naura terlihat semakin cantik. Entah dorongan darimana dia mendekatkan wajahnya. Menatap lamat setiap inci wajah Naura.

Melihat mata Naura yang perlahan terbuka membuat Rayden terkejut dan segera menjauh.

Dia berdeham pelan. “Udah bangun?” Dalam hati Rayden merutuki dirinya sendiri karna melontarkan pertanyaan bodoh itu.

“Maaf, gue ikut ketiduran.” ucap Naura seraya bangkit dari tidurnya.

“It's okay. Ayo Kita pulang.”

Naura menatap Rayden yang sudah turun dari kasur dan sedang mengeluarkan hoodie dari lemarinya. “Langsung pulang?”

Tanpa menoleh Rayden menjawab singkat. “Iya.”

“Enggak akan makan malam dulu di sini?” Tanya Naura setelah melihat jam yang menunjukkan pukul 7 malam di layar handphone nya.

“Gue enggak betah lama-lama di sini.”

“Tapi enggak enak sama mama papa lo, Ray.”

Rayden terlihat menghela nafas. Kemudian ia menatap Naura, “Mama papa gue, enggak sebaik yang lo lihat. Enggak perlu terlalu segan sama mereka.”

“Ayo kita pulang.” ucapnya untuk yang kesekian kali.

Mau tak mau Naura mengangguk dan turun dari kasur. Setelah merapikan sedikit penampilannya, Naura memasukkan handphone nya ke dalam tas. Lalu menyampirkan tas selempangnya itu di pundak.

Keduanya keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah secara berdampingan.

“Halo anak-anak. Makan malam dulu sebelum pulang, ya?” Mela bersuara kala melihat mereka menuruni tangga.

“Enggak perlu, kita mau pulang sekarang.” Balas Rayden.

“Mama kamu udah masak banyak loh, Ray. Kamu enggak ngehargain usaha dia?” Ditempatnya Ardan ikut bersuara.

“Aku enggak nyuruh dia masak sebanyak ini?” Sahut Rayden sambil menatap berbagai macam makanan yang ada di atas meja dan Ardan secara bergantian.

“Rayden, duduk sekarang atau jangan harap kamu bisa bebas tinggal di apart bersama Artha.” Ardan menggertak membuat Rayden terkekeh kecil.

“Bisa enggak usah ngatur hidup aku?” Rayden berjalan mendekati meja makan. “Aku enggak pernah nyuruh dia buat masak, buat repot-repot ngelakuin semua ini. Dia sendiri yang mau.” Telunjuknya menunjuk Mela.

“Turunkan tangan kamu! Harus berapa kali papa bilang jangan pernah menunjuk mama kamu seperti itu?!” Nada suara Ardan naik satu oktaf. Bahunya naik turun karna emosi.

“Harus berapa kali aku bilang jangan pernah ngatur hidup aku?!” Rayden membalas dengan suara yang tak kalah keras.

Ditempatnya Naura hanya dapat membisu. Kenapa dia harus terjebak dalam keadaan seperti ini?

Dengan tergesa Ardan melangkah mendekati Rayden. Kemudian melayangkan satu tamparan di pipi mulus anak bungsunya.

“Pa, udah!” seru Mela panik.

Rayden terkekeh. Dia menatap Naura yang menunjukkan raut wajah terkejut. “See?”

“Ayo kita pulang.” ucap Rayden sambil menggandeng tangan Naura. Menarik gadis itu secara paksa untuk keluar dari rumah ini.

Naura memasuki cafe yang telah dijanjikan oleh Artha. Gadis itu mengedarkan pandangannya, kemudian berjalan masuk kala melihat sosok Artha yang melambaikan tangan di meja pojok sana.

“Sorry, gue telat. Gak nunggu lama, kan?” Naura bersuara tepat saat dia duduk. Dia menatap Artha tak enak.

“Santai aja, gue juga baru nyampe beberapa menit yang lalu.” jawab Artha. “Mau mesen minum dulu, gak?”

Naura menggeleng. “Langsung aja, Bang. Jadi apa yang mau lo omongin?”

“Akhir-akhir ini Rayden bikin lo repot banget, ya? Gue tahu dia beberapa kali ganggu waktu kuliah lo.” Artha terdiam beberapa saat. Sangat jelas bahwa laki-laki itu terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.

“Gue gak masalah buat itu.” ucap Naura.

Artha hendak bersuara namun terhenti saat Naura kembali berucap, “Lo kesini buat omongin kenapa Rayden kambuh separah itu akhir-akhir ini?” Tebaknya yang tepat sasaran.

Artha menghela nafas lesu. “Iyaa”

“Naura, banyak hal buruk yang bikin Rayden stres dan hilang kendali. Lo inget hari di mana Rayden ngurung diri di kamar?”

Naura mengangguk pelan. Dia baru sadar bahwa Artha masih belum menceritakan kejadian hari itu.

“Waktu itu Rayden datang ke reuni SMA. Lo tahu kan kalo Rayden itu keras kepala? Dia datang cuma buat buktiin kalo dia gak punya little space seperti yang temennya tuduhin ke dia. Lo pasti udah tahu gimana kelanjutannya. Rayden kambuh pas dia izin ke kamar mandi dan yaa ketauan sama temennya yang curiga itu. Dia marah banget sama dirinya sendiri. Balik-balik langsung masuk kamar terus mecahin semua barang-barangnya.” Artha menjeda ucapannya, “Dan lo tahu apa yang paling parah? Tiba-tiba aja papa bilang kalo dia mau jodohin Rayden sama Ratu.”

Mendengar ucapan Artha yang terakhir membuat Naura sedikit tersentak. “Dijodohin?”

Artha mengangguk. “Papa bahkan ngasih tahu Ratu soal little space nya Rayden. Gue jelas marah, gue sempet nyoba buat protes sama papa tapi enggak didengerin sama sekali. Papa selalu berlindung dibalik kata, “Ini yang terbaik buat Rayden” padahal nyatanya papa makin memperburuk mental Rayden.”

“Semakin Rayden banyak pikiran semakin sering Rayden kambuh.” lanjutnya.

“Sampe separah itu, ya?” Lirih Naura. “Gue masih belum terlalu ngerti soal keadaan Rayden, bang. Ada baiknya Rayden ngejalanin terapi, kan?”

“Gue udah mikirin soal itu. Gue udah mutusin supaya Rayden terapi lagi. Tapi Rayden selalu nolak dan bilang kalo dia gak butuh terapi atau apapun itu.”

Artha menatap Naura dengan sorot mata yang dalam. “Naura,”

“Iya?” Naura yang semula menunduk mendongak membalas tatapan Artha.

“Tolong bujuk Rayden supaya dia mau terapi, ya? Gue mohon, bantu Rayden buat bangkit pelan-pelan. Setidaknya sampai dia bisa kendaliin dirinya sendiri.”


Malam harinya Naura terlihat duduk sendirian di balkon kamar. Pikirannya berkecamuk. Masih memikirkan semua perkataan Artha tadi siang. Menyadari bahwa dirinya tak mengetahui apapun soal Rayden entah bagaimana membuat hatinya sedikit kecewa. Sejujurnya, Rayden masih begitu abu-abu dan terasa jauh. Naura ingin sekali mendekat namun karena ada batas yang tak bisa dia tembus membuat Naura hanya bisa berdiri di tempat. Lagi pula, sejak awal dia hanya orang baru yang dengan berbaik hati bersedia membantu Rayden, kan? Menemani laki-laki itu saat dalam kondisi little. Hanya itu.

“Semenjak bunda meninggal, papa banyak berubah. Rayden selalu jadi pelampiasan amarah papa. Gue merasa gagal jadi abang setiap kali gue sembunyi saat papa mukulin Rayden. Gue masih anak kecil yang cuma bisa ketakutan waktu itu. Berdiri dibalik tembok dan ngeliatin adek gue yang nangis manggil-manggil nama bunda.”

Naura menggeleng pelan. Tanpa sadar pipinya basah hanya dengan membayangkan bagaimana kondisi Rayden kecil saat dipukul oleh papanya sendiri. Kenapa semesta bisa berlaku kejam kepada laki-laki sebaik Rayden?

“Ternyata gue gak tahu apa-apa soal lo, ya.” Lirih Naura sambil menghapus air matanya sendiri.

“Maaf, Rayden. Kenyataan di mana lo dikelilingi orang-orang yang kemungkinan besar buat lo terluka, bikin gue ngerasa bersalah.”

“Karna gue menjadi bagian dari orang-orang itu.”

Acara makan malam terasa sangat sunyi. Tidak ada yang memulai percakapan hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu. Rayden juga merasa tidak berselera makan namun apa boleh buat Mela —mama nya— sudah banyak memasak makanan kesukaannya. Mau tak mau Rayden tentunya harus menghargai usaha sang mama.

Setelah makan malam selesai Ardan menyuruh Rayden agar menunggunya di ruang keluarga. Selang beberapa menit dia menunggu akhirnya Ardan datang, duduk di samping kanannya dan disusul Mela yang duduk di samping kirinya.

Melihat sang papa yang menyalakan televisi dengan santai membuat Rayden mengerutkan keningnya, heran. Apa dirinya hanya diajak untuk menonton televisi bersama? Rayden terus bertanya-tanya dalam hati dengan perasaan was-was.

Hening beberapa saat sebelum suara berat Ardan memecahkan keheningan. “Rayden,”

Rayden diam menunggu papa nya melanjutkan ucapannya. Mata boba nya menatap Ardan yang fokus menonton televisi.

“Dari kecil papa selalu mengajarkan kamu tentang kesopanan. Kamu masih ingat? bahkan bunda pernah bilang kamu harus bisa mengontrol emosi di hadapan orang tua.”

Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, Rayden sudah tahu kemana arah pembicaraan Ardan. Dia menunduk dalam. Perlakuannya kemarin tentu membuat papa nya marah. Selain tidak sopan karna pergi begitu saja, itu juga membuat harga diri Ardan jatuh di hadapan kedua orang tua Ratu. Bisa saja kedua orang tua Ratu mengira bahwa Ardan tidak becus dalam mendidik sang anak.

“Papa malu, Rayden. Kapan kamu bisa bersikap sopan pada orang yang lebih tua?”

Dengan berani Rayden membuka suara. “Papa tahu aku gak suka dipaksa, papa tahu kalo Rayden sama Ratu udah gak berhubungan lagi.” Rayden mendongak menatap Ardan yang juga tengah menatapnya. “Tapi kenapa papa masih nekat buat deketin kita berdua?”

“Ratu anak yang baik.” ujar Ardan. “Dia juga suka sama kamu, kan? papa yakin Ratu bisa menemani kamu sampai kapan pun.”

“Udah ada Naura, Pa.” Rayden menyela. “Aku gak butuh Ratu, Naura aja udah cukup buat nemenin aku.”

“Naura gak bisa selamanya nemenin kamu, Rayden.” Kekeuh Ardan mencoba membuat Rayden mengerti.

“Terus Ratu? dia aja bahkan gak tahu soal aku.” Rayden masih menatap Ardan. “Aku berani taruhan, Ratu bakal pergi kalo tahu aku punya little space.”

“Kamu ini keras kepala banget, ya?” ucap Ardan.

“Iya, aku keras kepala. Sama kaya papa!” Balas Rayden.

Mela yang sedari tadi diam mencoba melerai papa dan anak yang saling memberi tatapan tajam itu. “Pa, Rayden, udah. Kita bisa selesain semuanya dengan kepala dingin.”

“Ray, mama mohon tolong jangan lawan papa, ya?” Tangan Mela yang hendak mengusap lengannya ditepis kasar oleh Rayden.

“Punya hak apa lo ngatur-ngatur gue?” Sinis Rayden sambil beranjak berdiri.

“RAYDEN!” Refleks Ardan ikut berdiri, dia menatap nyalang putranya.

Tanpa merasa takut sedikit pun, Rayden membalas tatapan itu. “Aku bener, kan? mama gak berhak ngatur aku, dia bukan ibu kandung aku. Dia bukan bunda!”

Tamparan yang terdengar sangat nyaring mendarat di pipi mulus Rayden. “Kamu melewati batas, Rayden.”

“Tapi omongan aku gak ada yang salah.” Rayden memegang pipinya yang memanas.

“Mela itu ibu kamu. Kamu harus bisa menghormati dia sama seperti apa yang kamu lakukan pada bunda.”

“Kamu harus bisa lupain bunda, Rayden.” Lanjutnya. Ardan masih menatap Rayden dengan tatapan tajam dan nada bicaranya masih menunjukkan bahwa dia sedang emosi.

“Gimana bisa aku lupain bunda dan nerima orang ini?” Rayden menunjuk Mela yang berdiri di samping Ardan.

“Turunin tangan kamu, Rayden.”

“Papa gila, ya? papa nyuruh aku lupain ibu kandung aku? seseorang yang ngelahirin aku, ngebesarin aku dan udah banyak berkorban buat aku. Gimana caranya aku ngelupain bunda, Pa?!” Cerca Rayden emosi. “Aku gak akan pernah mau nerima mama di tengah keluarga kita. Mama gak lebih dari sekedar perebut!”

“RAYDEN KALVANO!” Jika Ardan sudah memanggilnya dengan nama lengkap sambil berteriak seperti ini, Rayden tahu bahwa ia benar-benar sudah melewati batas dan tak bisa menghindar dari amukan sang papa.

Mela menahan tangan Ardan yang hendak melayangkan pukulan pada Rayden. “Udah, cukup!” Teriaknya. Pipi nya sudah dibanjiri airmata. Lagi dan lagi pertengkaran antara papa dan anak ini selalu berhasil menyakiti perasaannya.

Rayden mendekati Ardan, dia menatap Ardan dengan nafas yang naik turun. “PUKUL RAYDEN PA, PUKUL! AYO PUKUL AKU PERSIS KAYA YANG SERING PAPA LAKUIN DULU, LAMPIASIN EMOSI PAPA KE AKU!”

“Berhenti bersikap seolah papa peduli. Berhenti ngatur-ngatur, Rayden. Berhenti ikut campur sama kehidupan Rayden, Pa!” Meski tidak berteriak sekeras tadi, nada suara Rayden masih bisa dibilang keras.

Lelaki itu mengusak rambutnya dengan kasar, menatap papa dan mama nya yang seketika bungkam. “Rayden, muak.”

“Ini terakhir kalinya Rayden nginjak kaki di rumah ini.” Finalnya dengan suara dingin.

Rayden berjalan tergesa meninggalkan ruang keluarga, tanpa menghiraukan teriakan Ardan yang menyuruhnya kembali. Dia hanya ingin keluar dari rumah ini, dia hanya ingin pulang pada rumah yang sebenarnya.