A confession
Rayden menghampiri keluarganya yang sedang berjongkok di samping makam sang bunda dengan tangan yang menggandeng Naura. Entah refleks atau apa ia tak berniat melepaskan genggaman itu bahkan setelah mereka ikut bergabung di samping makam Renata.
“Selamat ulang tahun, Bunda.”
“Apa kabar di sana? Rayden harap bunda selalu bahagia. Bunda pasti kaget, ya? karna kali ini mama ikut datang.” Rayden menunduk. “Rayden minta maaf karna pernah larang mama buat kunjungin bunda. Tolong jangan marah. Hari ini Rayden temuin bunda dengan versi yang lebih baik.”
Untuk sesaat Rayden menatap Naura sebelum kembali beralih menatap bundanya. “Kata Naura, Rayden dengan versi yang lebih baik adalah hal yang paling bunda tunggu.”
Naura tak berani mengangkat suara. Dia merasa malu karna Rayden berbicara seperti itu. Terlebih lagi tatapan Ardan membuat ia semakin merasa canggung. Lain lagi dengan Mela dan Artha, mereka menatapnya sambil tersenyum. Sungguh, Naura dilanda gugup sekarang.
“Naura.”
Naura tersentak kecil kala Rayden memanggilnya. “Iya?”
“Bunga nya.”
“Ah, iya.” Naura refleks melepaskan genggamannya bersama Rayden. Dia meletakkan buket bunga mawar yang sedari tadi dipegangnya menggunakan tangan kiri di atas makam Renata.
“Selamat ulang tahun, Bunda.” ucapnya sambil tersenyum. “Naura gak bisa ngasih apa-apa buat bunda, sebagai gantinya Naura akan memastikan bahwa Rayden hidup dengan baik.”
“Kebahagiaan Rayden akan menjadi hal yang paling Naura utamakan.”
Pernyataan yang terdengar tulus itu mampu menarik sudut bibir Ardan membentuk sebuah senyuman. Sepertinya, Rayden telah menemukan rumah yang selama ini dia cari.
Manis sekali. Rayden sampai mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ia takut mereka melihat wajahnya yang mungkin saja merah karna salah tingkah.
Artha terkekeh. “Cielah, romantis banget.”
“Kalian ini pacaran, ya?” Tanya Mela. Astaga, mereka terlihat seperti remaja yang baru saja pacaran. Menggemaskan.
Rayden buru-buru menggeleng. “Kita cuma temenan, ma.”
“Friendzone.” Gumam Artha sambil terkikik geli. Lantas Rayden memberi tatapan tajam untuk kakaknya itu yang hanya dibalas sebuah cengiran.
Naura berdeham. Apa yang diucapkannya memang tulus. Namun, sepertinya dia memilih waktu yang tidak tepat. Mengatakannya langsung di depan keluarga Rayden? Naura merutuki kebodohannya.
Mereka pasti akan salah paham mengenai hubungannya bersama Rayden. Terdengar menyakitkan memang, tapi kenyataan bahwa ia dan Rayden hanya berteman tak bisa dibantah oleh hal apapun.
Ardan beranjak berdiri diikuti Mela dan Artha. Matanya menyipit karena silau oleh cahaya matahari yang siang ini bersinar terang. Ia menunduk menatap putra bungsunya. “Rayden, mau terus di sini?” Tanyanya yang diangguki Rayden.
“Papa duluan gapapa? hari ini di kantor ada meeting penting.” kata Ardan, meminta izin.
Rayden mendongak kemudian ia tersenyum singkat. “Iya, papa pergi aja. Makasih ya pa udah luangin waktu datang ke sini.”
Diusapnya surai si bungsu dengan lembut, Ardan tersenyum. “Papa pergi dulu.” Pamitnya.
Pria paruh baya itu beralih menatap Naura. “Terimakasih banyak Naura, karena sudah datang ke sini.”
Dengan begitu Naura mengangguk. Senyum tak sedikitpun luntur dari bibirnya saat menatap kepergian mereka. Setelah ketiga orang itu menaiki mobil, Naura beralih menatap Rayden.
“Bunda, Rayden kangen...”
“Ada banyak hal yang Rayden takuti selama bunda gak ada di sisi Rayden. Tapi sejauh ini Rayden hebat, kan? bang Artha menjaga Rayden dengan sangat baik.”
Rayden semakin menunduk. Ia mencoba menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. Punggungnya yang sedikit bergetar membuat Naura sadar bahwa laki-laki itu sedang menangis. Meski sempat ragu, pada akhirnya Naura menarik Rayden ke dalam dekapannya.
Diusapnya punggung Rayden dengan lembut. Tangis yang semakin pecah itu benar-benar menyakiti relung hatinya. “Jangan takut.”
“I will always be here for you under any circumstances, I promise.” Bisiknya pelan.
Rayden melepaskan pelukan itu. Dia berdiri membuat Naura juga ikut berdiri. Kedua tangannya meraih tangan Naura untuk digenggam. Masih dengan mata yang memerah, Rayden menatap Naura lamat. “May I say that I love you?”
Pertanyaan itu praktis membuat Naura terdiam. Apa ia salah dengar? pikirannya berkecamuk. Perlahan, Naura mengangguk mengabaikan batinnya yang sedang berperang.
“Mencintai lo adalah hal yang gak pernah gue pikirkan sekalipun. Gue gak pernah berniat buat jatuh terlalu dalam, gue tahu dariawal niat lo emang cuma ngebantu gue. Tapi semua perlakuan lo buat gue lupa diri sampai perasaan ini tiba-tiba aja muncul tanpa gue sadari.”
“Naura, gue gak tahu gimana jadinya hidup gue tanpa lo. I love you in every way I can.”
Selama hidupnya Naura selalu menuruti semua perkataan kedua orang tuanya. Naura akan menjalankan apa yang sudah seharusnya dijalani meski ia tak suka. Dia selalu berusaha menerima takdir. Tanpa mengeluh dan mencoba berhenti.
Maka hari ini izinkan dia untuk egois. Sekali saja. Dengan perasaan yang membuncah Naura memeluk Rayden. “I love you too, Rayden.” katanya.
Dan tiba-tiba saja hujan turun begitu deras. Mereka masih memeluk satu sama lain. Tak berniat berlari untuk sekedar meneduh. Hari itu tanpa sadar mereka telah melewati batas yang sudah ditentukan oleh takdir.
Naura tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas dia mengaku bahwa kini hatinya telah jatuh kepada laki-laki yang ia peluk sekarang.
Tolong tetap di sini. Jangan pergi meski nanti kamu telah mengetahui semuanya. Naura membatin dalam hati.
Rayden mengulurkan secangkir susu coklat panas kepada Naura. Tadinya ia berniat menembus jalan hingga pulang. Namun melihat Naura yang menggigil kedinginan membuat Rayden memutuskan untuk meneduh disebuah warung kecil. Meski ia tahu itu sia-sia karna seluruh tubuh mereka sudah basah total.
Hujan masih belum berhenti. Rayden ikut bergabung duduk di samping Naura. Perasaan canggung menyelimuti mereka. Tak ada yang berniat bersuara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Menatap rintik hujan yang terus jatuh dalam diam.
Tak tahan dengan keheningan yang terjadi, Rayden bersuara. “Ra, jadi hubungan kita itu apa?” Oke. Rayden telah meruntuhkan egonya dengan bertanya seperti itu.
Naura yang sedang menyeruput susu coklat panasnya hampir tersedak saat mendengar pertanyaan itu. Lantas Rayden panik dibuatnya.
“Lo gapapa? sorry...” Sesal Rayden sambil mengelus punggung Naura.
“Haha, gue gapapa kok.” Naura tertawa canggung.
Rayden mengangguk. “Abisin susu nya, kita pulang sekarang.” Katanya sebelum meneguk susu coklat panasnya hingga tandas.
Naura mengangguk. Ia menghabiskan susu coklat miliknya. Saat cangkirnya telah kosong Rayden mengambil alih cangkir itu untuk dikembalikan kepada ibu pemilik warung. Disaat Rayden tengah sibuk membayar, Naura melamun. Pertanyaan Rayden tadi membekas diingatannya. Saat Rayden kembali mempertanyakan hal itu, ia harus menjawab bagaimana? Haruskah dia jujur bahwa selama ini ia memiliki tuna—
“Ayo, Ra.” Ajakan Rayden membuyarkan lamunannya. Naura beranjak berdiri dan mengikuti Rayden menghampiri motor laki-laki itu.
Saat Rayden telah menyalakan motornya, Naura kemudian menaiki motor itu. Dia tersenyum malu-malu saat Rayden meraih kedua tangannya agar memeluk laki-laki juli itu. Motor itu melaju membelah jalanan. Beruntung hujan telah reda, menyisakan beberapa genangan air di setiap sudut jalan dengan bau petrichor yang menenangkan.
Tak butuh waktu lama motor itu kini berhenti tepat di depan rumah Naura. Rayden menatap Naura yang sudah turun dari motornya. “Langsung mandi ya, Ra. Biar gak sakit”
Naura mengangguk sebagai jawaban. “Lo juga. Hati-hati di jalan, kalau udah sampe kabarin gue.”
“Iyaa.”
“Gue masuk sekarang, ya.” Setelah mendapat persetujuan dari Rayden, Naura membuka gerbang rumahnya. Gadis itu menghentikan pergerakannya saat Rayden kembali memanggil.
“Kenapa?” Naura berjalan mendekati Rayden.
“Naura, gue gak akan menuntut lo buat memperjelas hubungan kita. Tahu kalau perasaan gue terbalas aja itu udah lebih dari cukup.” Tangannya terulur mengacak surai Naura. Dengan senyum yang terpatri di bibir, Rayden kembali bersuara. “Jadi jangan terlalu dipikirin, oke? kita ikutin aja alurnya.”
“Masuk, gih. Gue pulang sekarang.” Rayden kembali menyalakan motornya. Kemudian dia melajukan motornya meninggalkan Naura yang masih berdiri di depan rumahnya sendiri.