Mama bukan Bunda

Acara makan malam terasa sangat sunyi. Tidak ada yang memulai percakapan hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu. Rayden juga merasa tidak berselera makan namun apa boleh buat Mela —mama nya— sudah banyak memasak makanan kesukaannya. Mau tak mau Rayden tentunya harus menghargai usaha sang mama.

Setelah makan malam selesai Ardan menyuruh Rayden agar menunggunya di ruang keluarga. Selang beberapa menit dia menunggu akhirnya Ardan datang, duduk di samping kanannya dan disusul Mela yang duduk di samping kirinya.

Melihat sang papa yang menyalakan televisi dengan santai membuat Rayden mengerutkan keningnya, heran. Apa dirinya hanya diajak untuk menonton televisi bersama? Rayden terus bertanya-tanya dalam hati dengan perasaan was-was.

Hening beberapa saat sebelum suara berat Ardan memecahkan keheningan. “Rayden,”

Rayden diam menunggu papa nya melanjutkan ucapannya. Mata boba nya menatap Ardan yang fokus menonton televisi.

“Dari kecil papa selalu mengajarkan kamu tentang kesopanan. Kamu masih ingat? bahkan bunda pernah bilang kamu harus bisa mengontrol emosi di hadapan orang tua.”

Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, Rayden sudah tahu kemana arah pembicaraan Ardan. Dia menunduk dalam. Perlakuannya kemarin tentu membuat papa nya marah. Selain tidak sopan karna pergi begitu saja, itu juga membuat harga diri Ardan jatuh di hadapan kedua orang tua Ratu. Bisa saja kedua orang tua Ratu mengira bahwa Ardan tidak becus dalam mendidik sang anak.

“Papa malu, Rayden. Kapan kamu bisa bersikap sopan pada orang yang lebih tua?”

Dengan berani Rayden membuka suara. “Papa tahu aku gak suka dipaksa, papa tahu kalo Rayden sama Ratu udah gak berhubungan lagi.” Rayden mendongak menatap Ardan yang juga tengah menatapnya. “Tapi kenapa papa masih nekat buat deketin kita berdua?”

“Ratu anak yang baik.” ujar Ardan. “Dia juga suka sama kamu, kan? papa yakin Ratu bisa menemani kamu sampai kapan pun.”

“Udah ada Naura, Pa.” Rayden menyela. “Aku gak butuh Ratu, Naura aja udah cukup buat nemenin aku.”

“Naura gak bisa selamanya nemenin kamu, Rayden.” Kekeuh Ardan mencoba membuat Rayden mengerti.

“Terus Ratu? dia aja bahkan gak tahu soal aku.” Rayden masih menatap Ardan. “Aku berani taruhan, Ratu bakal pergi kalo tahu aku punya little space.”

“Kamu ini keras kepala banget, ya?” ucap Ardan.

“Iya, aku keras kepala. Sama kaya papa!” Balas Rayden.

Mela yang sedari tadi diam mencoba melerai papa dan anak yang saling memberi tatapan tajam itu. “Pa, Rayden, udah. Kita bisa selesain semuanya dengan kepala dingin.”

“Ray, mama mohon tolong jangan lawan papa, ya?” Tangan Mela yang hendak mengusap lengannya ditepis kasar oleh Rayden.

“Punya hak apa lo ngatur-ngatur gue?” Sinis Rayden sambil beranjak berdiri.

“RAYDEN!” Refleks Ardan ikut berdiri, dia menatap nyalang putranya.

Tanpa merasa takut sedikit pun, Rayden membalas tatapan itu. “Aku bener, kan? mama gak berhak ngatur aku, dia bukan ibu kandung aku. Dia bukan bunda!”

Tamparan yang terdengar sangat nyaring mendarat di pipi mulus Rayden. “Kamu melewati batas, Rayden.”

“Tapi omongan aku gak ada yang salah.” Rayden memegang pipinya yang memanas.

“Mela itu ibu kamu. Kamu harus bisa menghormati dia sama seperti apa yang kamu lakukan pada bunda.”

“Kamu harus bisa lupain bunda, Rayden.” Lanjutnya. Ardan masih menatap Rayden dengan tatapan tajam dan nada bicaranya masih menunjukkan bahwa dia sedang emosi.

“Gimana bisa aku lupain bunda dan nerima orang ini?” Rayden menunjuk Mela yang berdiri di samping Ardan.

“Turunin tangan kamu, Rayden.”

“Papa gila, ya? papa nyuruh aku lupain ibu kandung aku? seseorang yang ngelahirin aku, ngebesarin aku dan udah banyak berkorban buat aku. Gimana caranya aku ngelupain bunda, Pa?!” Cerca Rayden emosi. “Aku gak akan pernah mau nerima mama di tengah keluarga kita. Mama gak lebih dari sekedar perebut!”

“RAYDEN KALVANO!” Jika Ardan sudah memanggilnya dengan nama lengkap sambil berteriak seperti ini, Rayden tahu bahwa ia benar-benar sudah melewati batas dan tak bisa menghindar dari amukan sang papa.

Mela menahan tangan Ardan yang hendak melayangkan pukulan pada Rayden. “Udah, cukup!” Teriaknya. Pipi nya sudah dibanjiri airmata. Lagi dan lagi pertengkaran antara papa dan anak ini selalu berhasil menyakiti perasaannya.

Rayden mendekati Ardan, dia menatap Ardan dengan nafas yang naik turun. “PUKUL RAYDEN PA, PUKUL! AYO PUKUL AKU PERSIS KAYA YANG SERING PAPA LAKUIN DULU, LAMPIASIN EMOSI PAPA KE AKU!”

“Berhenti bersikap seolah papa peduli. Berhenti ngatur-ngatur, Rayden. Berhenti ikut campur sama kehidupan Rayden, Pa!” Meski tidak berteriak sekeras tadi, nada suara Rayden masih bisa dibilang keras.

Lelaki itu mengusak rambutnya dengan kasar, menatap papa dan mama nya yang seketika bungkam. “Rayden, muak.”

“Ini terakhir kalinya Rayden nginjak kaki di rumah ini.” Finalnya dengan suara dingin.

Rayden berjalan tergesa meninggalkan ruang keluarga, tanpa menghiraukan teriakan Ardan yang menyuruhnya kembali. Dia hanya ingin keluar dari rumah ini, dia hanya ingin pulang pada rumah yang sebenarnya.