Terkadang

Naura duduk termenung di meja nya. Pesanan caffe latte miliknya bahkan tak ia hiraukan sedikitpun. Pikirannya berlari pada saat Artha menemuinya di cafe kala itu. Juga pada perkataan Artha beberapa hari yang lalu melalui chat. Sebenarnya, Naura sempat sangsi untuk menerima permintaan Artha. Pasti sesulit itu membujuk Rayden agar laki-laki itu mau menjalani terapi, sampai-sampai keluarganya sendiri angkat tangan dan meminta tolong padanya.

Namun bagaimanapun, Naura membenarkan perkataan Artha. Bukannya dia merasa terbebani atau bahkan menganggap Rayden menyusahkan, hanya saja ia sadar bahwa tidak selamanya ia akan selalu ada untuk Rayden. Laki-laki itu tidak boleh bergantung padanya. Ya, tidak boleh.

Suara lonceng kecil di pintu cafe terdengar sangat nyaring. Naura melambaikan tangannya pada sosok laki-laki yang baru saja memasuki cafe dengan terburu-buru.

“Udah nunggu lama?” Pertanyaan itu terlontar sesaat setelah si laki-laki duduk di hadapannya.

Naura menggeleng sebagai jawaban. “Santai aja, Ray. Mau mesen minuman dulu?” Tanya nya.

Rayden terlihat mengatur nafasnya. Sekedar informasi, laki-laki itu telah berlari cukup jauh untuk sampai di cafe ini. Hari ini Rayden tidak membawa motor ke kampus sehingga mengharuskan dia menggunakan taksi. Dan taksi yang ditumpangi nya tiba-tiba mogok di tengah jalan. Sedangkan untuk menunggu taksi di daerah sini sedikit sulit. Alhasil, Rayden nekat berlari untuk menuju cafe ini. Memang jaraknya tidak terlalu jauh, namun jika digunakan untuk berlari cukup menguras tenaga.

Dalam hatinya, Rayden bertanya-tanya. Dia sendiri merasa bingung kenapa ia harus terburu-buru hanya karna tidak mau membuat Naura menunggu lama?

Rayden mengangguk pelan. Kemudian ia mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. “Saya pesan satu americano.”

“Baik. Ada tambahan?” Gelengan dari Rayden membuat pelayan mengangguk dan undur diri. “Tunggu sebentar ya, pesanan akan diantar dalam beberapa menit.”

Melihat pelayan yang sudah pergi, Rayden mengalihkan atensinya pada Naura. “Jadi, ada perlu apa lo minta gue datang ke sini?”

Gerak-gerik Naura yang terlihat ragu membuat Rayden kembali bersuara. “Ngomong aja, gue gak akan marah.”

“Janji gak akan marah?”

“Mau ngomong apaan, sih? kok sampai segitunya.” Pertanyaan Naura tentu membuat Rayden mengernyit heran. Memangnya, hal apa yang akan dibicarakan oleh Naura sehingga membuatnya marah?

“Gue bingung harus mulai darimana.” Gumam Naura pelan.

“To the point aja.”

Menyempatkan diri untuk mengambil nafas, Naura mendongak menatap Rayden. “Ray, lo pernah gak sih kepikiran buat terapi?”

Raut wajah Rayden yang berubah saat dirinya mengucapkan kata terapi. Lantas membuat Naura buru-buru berucap, “Maksud gue-”

“Satu americano nya, Mas.” Ucapan Naura terhenti kala pelayan datang.

“Makasih, Mba.” Naura yang menjawab. Ia sedikit risih dengan tatapan kagum si pelayan kepada Rayden.

“Bisa tinggalkan kami berdua?” Mungkin perkataannya terlalu berlebihan. Tapi Naura merasa bahwa ia memang harus berucap begitu, pasalnya bukannya beranjak pergi si pelayan malah berdiam diri di tempatnya.

“Ah, iya. Maafkan saya.” Ucapnya seraya membungkuk. Setelahnya buru-buru pelayan itu beranjak pergi.

Untuk sesaat, Naura menghela nafas lega. Ditatapnya kembali Rayden yang tak bersuara sedikitpun. Tiba-tiba perasaan cemas menyerbu hatinya. “Lo gak suka ya gue ngomongin soal terapi?”

“Rayden, gue cuma mau yang terbaik buat lo. Kata bang Artha lo se-enggak mau itu buat ngejalanin terapi. Kenapa?”

Rayden menghela nafas. “Guna nya terapi itu apa sih, Ra? gue udah pernah dan enggak ada yang berubah. Gue masih sering kambuh, gue masih sering kali nyusahin orang-orang.”

“Pada kenyataannya gue gak akan pernah bisa sembuh. Terus terapi buat apa? cuma buang-buang waktu.”

Kalau boleh jujur, Rayden membenci keadaan seperti ini. Ia benci ketika harus membicarakan tentang terapi, tentang kesembuhannya. Membicarakan hal-hal yang belum tentu sejalan dengan harapan hanya akan menimbulkan rasa sakit.

“Gue gak suka terapi, Naura.”

Naura terdiam cukup lama. Dia bisa mengerti kenapa Rayden seperti ini. “Menyukai hal yang harus kita jalanin emang gak mudah. Tapi apa salahnya mencoba?”

“Terkadang, hal-hal yang kita gak suka itu justru yang terbaik.”

Entah dorongan darimana, Naura meraih tangan kanan Rayden. Kemudian menggenggamnya dengan sangat erat.

“Pikirin ini baik-baik, ya? Keluarga lo, temen-temen lo, termasuk gue. Kita pengen yang terbaik buat lo, Ray. Kalo emang sesulit itu buat kembali ngejalanin terapi demi kita, setidaknya berusaha demi diri lo sendiri.”


Tengah malam, Rayden terlihat sibuk bermain playstation di dalam kamar. Kedua tangannya dengan lihai mengotak-atik stik ps yang ada digenggamnya. Tiba-tiba laki-laki itu melempar asal stik nya. Rayden mengacak rambutnya frustasi. Niatnya bermain PS tengah malam begini untuk menenangkan pikiran, namun nyatanya perkataan Naura terus terngiang-ngiang di otaknya.

“Terkadang, hal-hal yang kita gak suka itu justru yang terbaik.”

Hatinya beranggapan bahwa yang dikatakan Naura ada benarnya. Namun, logika terus berusaha menepis fakta itu.

Rayden beranjak berdiri kemudian ia membaringkan tubuhnya di kasur. Menjadikan tangan kanannya sebagai bantal. Laki-laki Juli itu menatap langit-langit dengan sendu.

Bayangan tentang apa yang telah Artha lakukan untuknya selama ini, tentang kedua orang tuanya yang sering khawatir mengenai keadaannya, tentang kedua temannya, dan terakhir tentang Naura yang dengan senang hati membantunya untuk waktu cukup yang lama membuat Rayden merasa bersalah.

Jika dipikirkan kembali, ada banyak orang yang telah dia bebani. Mereka pasti muak menghadapi dirinya. Namun, alih-alih pergi dan mengatakan bahwa Rayden adalah orang yang menyusahkan, mereka justru terus menemaninya hingga sekarang. Mendukungnya, meski sering kali keputusan yang Rayden ambil merupakan hal yang kekanak-kanakan.

“Terapi, ya? Haruskah?” Gumam Rayden.