Sore itu di rooftop

“Inget, obatnya jangan lupa diminum.” ucap Jeffery saat Rayden beranjak berdiri.

“Kalau ada keluhan atau kamu merasa tidak bisa mengatasi sesuatu, kamu bisa hubungi saya.” Lanjutnya.

Rayden mengangguk. “Terimakasih, dokter Jeffery.”

Naura yang duduk tak jauh dari mereka, lantas berdiri saat dirasa Rayden telah selesai. Ngomong-ngomong, ruangan Jeffery sangat luas. Mungkin bisa dibilang hampir mirip sebuah ruang keluarga. Ada beberapa sofa dan juga televisi. Sedangkan meja kerja si dokter muda itu hanya disekat oleh kaca bening dan berada tak jauh dari tempatnya menunggu sekarang.

Rayden berjalan melewatinya. Laki-laki itu memberi isyarat lewat mata agar Naura mengikutinya. Naura menatap Jeffery terlebih dahulu, kemudian ia berseru. “Kami pulang dulu, dokter!”

Jeffery yang semula sedang membaca beberapa berkas, mendongak mendengar suara Naura. Dokter muda itu tersenyum hingga menampilkan dimple nya. “Hati-hati di jalan. See you in two weeks!”

Naura hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman. Setelah itu dia berlari kecil menyusul Rayden yang sudah keluar dari ruangan Jeffery.

“Lo hari ini free, kan?” Pertanyaan itu terdengar sesaat setelah Naura menutup pintu ruangan Jeffery.

Gadis itu mendelik kesal sebelum menjawab. “Bikin kaget aja! iya, hari ini gue free. Kenapa?”

Tanpa menjawab Rayden menggenggam tangan Naura, kemudian menariknya begitu saja.

“Eh, lo mau bawa gue kemana? Pelan-pelan dong jalannya!” Protes Naura. Sementara kedua kakinya mencoba menyamakan langkah Rayden.

Rayden menghentikan langkahnya. Dia menatap Naura yang nampaknya terlihat kesal. “Jalan gue terlalu cepet?”

“Iya!” Naura mendengus.

“Yauda, kita jalan pelan-pelan.”

“Mau kemana, sih?”

“Rooftop.”

“Ngapain?”

“Cari angin.”

“Kan, di luar juga ada angin?”

“Di rooftop adem.”

Rayden menatap Naura sebelum gadis itu kembali bertanya. “Udah, sutt diem. Jangan banyak nanya, ikutin gue aja.” Katanya.

Naura buru-buru mengulum bibirnya. Ingin bertanya lebih lanjut tapi tatapan Rayden seolah mengatakan bahwa ia tidak bisa dibantah.

Dengan tangan yang saling bertautan mereka masuk ke dalam lift. Setelah menekan tombol paling atas dan lift mulai berjalan, Rayden melirik Naura lewat ekor matanya. Dia tersenyum samar, gadis itu benar-benar diam sekarang.

Pintu lift terbuka membuat Naura tanpa sadar melepaskan tautan mereka. Naura keluar terlebih dahulu, dia menatap takjub langit yang saat ini terlihat sangat cantik. Naura baru sadar bahwa hari sudah sore, membuat langit di atas sana terlihat begitu menawan dengan warna jingganya.

“Rayden, ini keren banget!” Pekiknya antusias.

Rayden tak menggubris. Laki-laki itu mengambil tempat duduk di tepi rooftop dan melihatnya Naura memutuskan untuk ikut duduk di sampingnya.

Naura menekuk kedua kakinya. Ia mengambil nafas kemudian menghembuskannya secara perlahan. Langit senja ditambah angin yang berhembus perlahan membuat dirinya merasa tenang. Diam-diam Naura melirik Rayden. Dalam hati dia bertanya-tanya ; Jadi, apa sebenarnya tujuan laki-laki juli itu mengajaknya ke sini?

“Naura.”

“Y-ya?” Naura merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba saja merasa gugup.

“Lo kangen Aden, gak?” Tanya Rayden. Matanya tak lepas dari langit di atas sana.

“Eum, mungkin?” Jawab Naura, ragu. Naura mengakui dalam hati bahwa ia memang sering kali merindukan sisi little Rayden disela waktu senggangnya. Tapi untuk mengucapkannya secara terang-terangan, Naura sempat sangsi. Dia takut pernyataannya akan menyinggung Rayden.

“Gue ngerasa asing sama diri sendiri. Rasanya kaya ada yang hilang dalam diri gue.” Rayden beralih menatap Naura, “Kenapa dia gak pernah datang lagi? bahkan disaat gue ngerasa stres.”

“Itu artinya sekarang lo bisa mengontrol diri sendiri, Ray. Lo bisa mengatasi rasa stres itu sampai Aden ngerasa gak perlu mengambil alih pikiran lo.”

“Harusnya gue gak usah terapi aja, ya?”

Mendengarnya sontak Naura menatap Rayden. “Maksud lo? kita udah melangkah terlalu jauh, Rayden. Pertanyaan lo itu terlontar di waktu yang gak tepat.”

Rayden menghela nafas. “Lo aja kangen Aden, Ra. Apalagi keluarga gue?”

“Dibanding merindukan Aden, kita lebih mau yang terbaik buat lo.”

Rayden terdiam. Harusnya tadi dia tidak usah mengangkat topik ini. Terlalu berat sampai membuat kepalanya pusing hanya dengan memikirkannya.

“Jangan pernah menyesali apa yang udah lo jalani. Terlepas dari itu sia-sia ataupun engga, itu udah jadi keputusan diri lo sendiri. Dengan begitu lo cuma harus terus jalanin semuanya, sampai Tuhan meminta lo buat berhenti.”

Sore itu Rayden benar-benar menyesal karena telah membicarakan topik yang seharusnya dia hindari. Namun, semua perkataan Naura berhasil menembus pikirannya dan meruntuhkan seluruh benteng egonya.


Suara notifikasi yang tak kunjung berhenti mengalihkan atensi Rayden. Ia menatap jam dinding di ujung sana. Jam menunjukkan pukul 2 lebih 15 menit. Rayden mendengus, siapa yang mengirimnya pesan selarut ini?

Dengan malas Rayden meraih handphonenya yang berada di atas nakas. Laki-laki itu membenarkan posisinya menjadi menyandar ke headboard. Ia menekan empat angka sebelum layar itu menunjukkan sebuah roomchat yang akhir-akhir ini sering sekali muncul.

Jangan jatuh cinta.

Know your limit.

Rayden menghela nafas. Siapa yang iseng mengirimnya pesan tak jelas seperti ini? Awalnya Rayden pikir pesan-pesan itu hanya iseng belaka. Atau bisa saja si pengirim salah sambung. Namun, apanya yang iseng jika pesan itu muncul setiap hari? bahkan dikirim oleh nomor yang sama.

Tanpa berniat membalas, Rayden menyimpan kembali handphonenya. Berbaring lalu menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Rayden merasa ia butuh istirahat untuk menjalani hari esok. Mungkin nanti ia harus mencari tahu siapa dalang dibalik semua pesan itu.