hehee
hehee
“Naura,”
Naura yang sedang fokus membaca buku di meja paling ujung mendongak kala mendengar namanya dipanggil.
“Gue udah nunggu lo dari 20 menit yang lalu,” decaknya sebal.
Rayden terkekeh pelan, “Sorry.”
Tanpa berniat menjawab Naura beranjak berdiri. Gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam tas kemudian menyimpan kembali buku yang dia baca tadi ke rak di belakangnya.
“Jadi kita mau ke mana?” Tanya Naura sembari menyampirkan tas selempang di pundaknya.
“Gak tau, kita jalan-jalan aja.”
“Gimana sih? masa gak ada tujuan, gak seru!” Naura mendelik tak suka.
Lagi, Rayden hanya terkekeh pelan. “Kalo sama gue ke mana pun pasti seru, Naura.”
“Terserah!” Naura berjalan melewati Rayden dengan perasaan sebal. Di belakangnya Rayden menyusul mencoba menyamakan langkah gadis itu.
Setelah 1 jam lamanya berkeliling tak tentu arah akhirnya Rayden memutuskan untuk datang ke Taman Vandares. Tentunya itu atas permintaan Naura dan mau tak mau Rayden hanya bisa menurut.
“Taman ini tuh bagus banget ya,” Naura membuka suara setelah ia menutup pintu mobil Rayden.
Rayden yang juga sudah turun dari mobil menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Ayo kita duduk di sana,” Rayden menunjuk bangku panjang yang berada tak jauh di depannya. Letaknya tepat di pinggir taman dengan pohon di belakang bangku itu.
Keduanya berjalan pelan ke arah bangku lalu duduk secara bersamaan. Keadaan menjadi hening. Naura tenggelam dalam pikirannya dengan mata yang fokus menatap banyak orang yang sedang berlalu lalang.
Sedangkan Rayden tengah berusaha mati-matian menyusun kata yang tepat agar ia bisa segera memberikan kotak musik yang sudah dia siapkan sebelum turun dari mobil tadi.
Menyerah dengan pikirannya, Rayden memilih langsung mengulurkan tote bag berisi kotak musik ke hadapan Naura tanpa mengatakan apapun.
Naura menunduk menatap tote bag itu lalu melirik Rayden sekilas, ia tertawa kecil. “Makasih,” ucapnya.
Naura mengeluarkan kotak musik itu lalu membukanya yang membuat ballerina dalam kotak musik berputar dan mengeluarkan suara yang merdu.
“Kok bisa kepikiran beliin ini buat gue?” Tanya Naura tanpa menatap Rayden. Gadis itu masih setia menatap kagum kotak musik yang dia pegang.
“Karna bagus,” Jawaban yang simpel dan tak bermakna sedikit pun.
Naura hanya mengangguk pasrah. Padahal dia berharap Rayden akan menjawab dengan kata-kata yang mungkin bisa menghangatkan hatinya.
“Lo bisa buka kotak musik itu kalo seandainya lo ngerasa jenuh,” Naura menoleh dan menunggu Rayden melanjutkan ucapannya.
“Suara musiknya bisa buat perasaan tenang, kan? Gue pengen buat lo ngerasa sedikit tenang gimanapun keadaannya.” Lanjut Rayden yang membuat Naura terdiam.
“Gimana, beneran suka sama kotak musiknya?”
“Iya, suka.”
Mendengar jawaban itu Rayden tersenyum puas. “Dijaga baik-baik ya, gue juga punya satu di rumah.”
“Couple?” Naura menaikkan alisnya.
Rayden mengangguk. “Coba deh lo liat tutup kotak musik itu,”
Naura menurut. Dia menutup kotak musiknya secara perlahan dan sedikit terkejut saat melihat ukiran namanya di tutup kotak musik yang terbuat dari kaca itu. Kenapa dia baru menyadarinya ya?
“Kok bisa?” Naura menatap Rayden masih dengan ekspresi terkejut.
“Ya, bisa. Gue request langsung ke tokonya.”
“Lucu,” gumam Naura.
Naura kembali memasukkan kotak musik ke dalam tote bag. Di tempatnya Rayden memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Melihat bagaimana Naura yang dengan hati-hati memasukkan kotak musik dan menyimpannya di samping gadis itu, membuat Rayden tertawa dalam hati.
Lucu, pikirnya.
Setelah puas menatap Naura, Rayden kembali bersuara. “Naura,”
“Hm?”
“Kalo gue minta supaya lo selalu di samping gue, boleh gak?” Entah angin darimana dan tujuannya apa, secara spontan Rayden bertanya seperti itu.
Naura menatap Rayden dalam diam. Tak ada satu katapun yang bisa dia ucapkan untuk menjawabnya. Ia tersenyum tipis membuat Rayden tanpa sadar ikut tersenyum.
Boleh kah?
Sore ini suasana di rumah Rayden terlihat cukup ramai dan hangat. Kedua orang tua Rayden sibuk memasak untuk makan malam nanti. Artha sibuk dengan dunia game nya. Di sampingnya Dion dan Juan sedang memperebutkan kue terakhir yang dibuat oleh Mama Rayden tadi siang. Lalu Aden? Bocah itu lebih memilih bermain bersama Naura.
“Rakus banget sih lo, ini jatah gue ya. Lo udah makan banyak banget tadi.” Suara Dion terdengar sewot, membuat Juan mendelik tak suka.
“Gak bisa gitu dong! Kan gue yang ambil duluan,” Juan merebut paksa kue yang dipegang Dion. “Ini jatah gue.”
Muak mendengar keributan tak bermutu dari dua curut yang berada di sampingnya, Artha bersuara. “Udah, gak usah rebutan kue kaya anak kecil.”
Laki-laki dengan hoodie abu itu, dengan santai mengarahkan tangan Juan yang memegang kue buatan Mamanya ke arah mulutnya. Lalu ia melahap kue itu dan dengan jail sedikit menjilat jari Juan. Jika dilihat dari jauh Juan terlihat seperti sedang menyuapi Artha.
Untuk seperkian detik Juan maupun Dion hanya mampu menatap Artha tanpa berkedip.
Setelah sadar dari keterkejutannya Juan berteriak heboh. “BANG ARTHA JIJIK BANGET WOY JARI GUE KENAPA LO JILAT?!”
“BAU JIGONG!!”
Kedua orang tua Rayden yang melihat interaksi ketiganya tak dapat lagi menahan tawanya. Mereka tertawa terbahak-bahak sembari menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.
Di tempatnya Dion masih terdiam. Menatap Juan yang sibuk memukul Artha menggunakan bantal dengan hampa. “Kue jatah gue,” Lirihnya pelan.
“AMPUN WOY AMPUN! DILARANG MENGGUNAKAN KEKERASAN JUAN! GUE LEBIH TUA DARIPADA LO YANG SOPAN! MAMA PAPA TOLONGIN ABANG!” Artha berteriak. Berharap ada malaikat baik yang dapat menjauhkan Juan dari dirinya.
Juan tak menghiraukan teriakan Artha sedikitpun. Ia semakin brutal memukul Artha bahkan kini tubuhnya sudah menindih tubuh laki-laki yang 3 tahun lebih tua darinya itu.
Naura yang sibuk bermain robot robotan bersama Aden, berusaha mengacuhkan keributan yang dibuat oleh Juan. Gadis itu menatap Aden dengan lembut. “Aden, kita ke taman belakang aja, yuk? Disini berisik.”
Aden mendongak. Menatap Naura sebentar lalu beralih menatap Abang dan kedua temannya. Seolah mengerti bahwa Naura malas dengan keributan yang terjadi, Aden mengangguk. “Hum, ayo!”
Kini Naura dan Aden berada di taman belakang rumah. Keduanya memilih duduk di gazebo yang berhadapan dengan kolam renang.
Hening menyelimuti keduanya. Naura memperhatikan Aden yang anteung sendiri dalam diam. Hari ini laki-laki di hadapannya itu kambuh lebih lama. Padahal biasanya Rayden hanya akan kambuh selama dua atau tiga jam. Lalu seperti biasa Rayden akan menyuruh Naura untuk pulang setelah dia tidak merasakan adanya tanda-tanda kambuh.
Terhitung sudah satu bulan lebih semenjak Dion yang memohon agar dia mau membantu Rayden. Kabar baiknya Rayden tidak kambuh sehari sekali, mungkin hanya dua atau tiga kali dalam seminggu? Entahlah Naura tak berminat menghitungnya.
“Kaka cantik, kenapa?” Suara yang terdengar menggemaskan itu membuyarkan lamunan Naura.
Naura menggeleng pelan, “Gak papa, sayang.” Jawabnya sambil tersenyum tipis.
Aden mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba untuk tidak bertanya lebih lanjut. Terdiam beberapa saat, Aden kembali bersuara sambil menatap Naura. “Kaka cantik, makasih ya.”
“Makasih untuk apa sayang?”
“Semuanya. Makasih udah mau main sama Aden. Kaka cantik tau ndda? Aden sayang banget sama Kaka cantik!”
Tiba-tiba saja mata Naura memanas. Terharu sekali rasanya mendengar ucapan laki-laki yang berada di hadapannya.
Jika boleh jujur Naura juga menyayangi Aden atau mungkin Rayden? Sudahlah Aden ataupun Rayden keduanya orang yang sama. Naura tidak pernah tahu bagaimana hubungan antara dia dan Rayden. Seorang teman atau lebih dari teman. Dirinya tidak tahu.
“Kaka juga sayang sama Aden.” Jawaban dari Naura membuat Aden tersenyum senang.
“Aden boleh minta peluk?”
“Of course.”
Naura merentangkan tangannya. “Sini, sayang.” Detik itu juga Aden berhambur ke dalam pelukan Naura. Hangat dan nyaman. Seperti menemukan rumah yang selama ini dia cari.
“ADEN, NAURA AYO MASUK KITA MAKAN MALAM!”
Teriakan dari Juan membuat dua insan yang tengah tenggelam dalam suasana itu menyudahi acara pelukannya.
Naura menjawab dengan sedikit berteriak. “IYA!”
“Jadi Aden beneran diizinin ngampus?” Tanya Dion dengan penuh pengertian, setelah selesai mendengarkan sedikit penjelasan yang diucapkan Aden.
Ngomong-ngomong sekarang ini mereka bertiga sedang duduk di kursi yang tempatnya berada di belakang gedung studio musik. Ide dari Juan. Karna katanya, gak akan mungkin ada mahasiswa yang lewat ke belakang gedung studio, itu sama aja kurang kerjaan. Sebab, sudah tidak ada ruang ataupun gedung di belakang studio musik ini. Hanya ada halaman luas yang di penuhi pohon dan bebungaan.
Kembali lagi kepada tiga anak adam yang masih setia duduk di belakang gedung. Lebih tepatnya hanya Aden yang duduk. Dion berjongkok di hadapan Aden sedangkan Juan berdiri dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Mendengarkan percakapan dua orang di hadapannya dengan seksama.
Aden mengangguk semangat. “Hum!”
“Diizinin suka rela atau Aden ngerengek dulu baru diizinin?” Juan ikut bersuara seraya menatap Aden meminta jawaban. Sebab, ia tahu Rayden tidak akan dibiarkan keluar jika sudah mode Aden seperti ini.
Menghela nafas sejenak, Aden menunduk lalu menjawab pelan. “Ngerengek dulu. Aden marah-marah sama Kak Atha. Mau gak mau Kak Atha akhirnya ngizinin, tapi katanya ndda boleh macem-macem kalo ndda mau Rayden marah.”
Laki-laki dengan mata boba itu mendongak, menatap Dion dan Juan secara bergantian. “Rayden marah ya sama Aden?” Bibirnya mengerucut ke bawah. Membuat Dion maupun Juan gemas bukan main.
“Enggak, kok.” Akhirnya keheningan yang terjadi beberapa menit yang lalu dipecahkan oleh suara Dion.
“Tadi kamu ngapain berdiri di depan gedung ini sendirian?” Juan mengambil langkah lalu duduk di samping Aden.
“Nungguin Kakak cantik. Katanya, dia mau nge-angeutin susu na Aden. Terus Aden disuruh nungguin di depan sana.”
“Kakak cantik?” Ulang Juan sambil menatap Aden tak mengerti.
Mengernyitkan dahinya heran, Dion bertanya. “Siapa?”
“Eung..” Aden mendadak linglung. Baru sadar bahwa ia tidak tahu siapa nama Kakak cantik itu. Matanya langsung berbinar kala menemukan satu objek yang sedaritadi menjadi topik pembicaraan. “KAKAK CANTIK!”
Mendengar seruan si bocah lucu, dengan kompak Dion dan Juan menoleh ke samping. Hanya untuk menemukan Naura dengan dot di tangannya juga dengan raut wajah yang bingung.
Naura, lagi.
“Jadi Aden beneran diizinin ngampus?” Tanya Dion dengan penuh pengertian, setelah selesai mendengarkan sedikit penjelasan yang diucapkan Aden.
Ngomong-ngomong sekarang ini mereka bertiga sedang duduk di kursi yang tempatnya berada di belakang gedung studio musik. Ide dari Juan. Karna katanya, gak akan mungkin ada mahasiswa yang lewat ke belakang gedung studio, itu sama aja kurang kerjaan. Sebab, sudah tidak ada ruang ataupun gedung di belakang studio musik ini. Hanya ada halaman luas yang di penuhi pohon dan bebungaan.
Kembali lagi kepada tiga anak adam yang masih setia duduk di belakang gedung. Lebih tepatnya hanya Aden yang duduk. Dion berjongkok di hadapan Aden sedangkan Juan berdiri dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Mendengarkan percakapan dua orang di hadapannya dengan seksama.
Aden mengangguk semangat. “Hum!”
“Diizinin suka rela atau Aden ngerengek dulu baru diizinin?” Juan ikut bersuara seraya menatap Aden meminta jawaban. Sebab, ia tahu Rayden tidak akan dibiarkan keluar jika sudah mode Aden seperti ini.
Menghela nafas sejenak, Aden menunduk lalu menjawab pelan. “Ngerengek dulu. Aden marah-marah sama Kak Atha. Mau gak mau Kak Atha akhirnya ngizinin, tapi katanya ndda boleh macem-macem kalo ndda mau Rayden marah.”
Laki-laki dengan mata boba itu mendongak, menatap Dion dan Juan secara bergantian. “Rayden marah ya sama Aden?” Bibirnya mengerucut ke bawah. Membuat Dion maupun Juan gemas bukan main.
“Enggak, kok.” Akhirnya keheningan yang terjadi beberapa menit yang lalu dipecahkan oleh suara Dion.
“Tadi kamu ngapain berdiri di depan gedung ini sendirian?” Juan mengambil langkah lalu duduk di samping Aden.
“Nungguin Kakak cantik. Katanya, dia mau nge-angeutin susu na Aden. Terus Aden disuruh nungguin di depan sana.”
“Kakak cantik?” Ulang Juan sambil menatap Aden tak mengerti.
Mengernyitkan dahinya heran, Dion bertanya. “Siapa?”
“Eung..” Aden mendadak linglung. Baru sadar bahwa ia tidak tahu siapa nama Kakak cantik itu. Matanya langsung berbinar kala menemukan satu objek yang sedaritadi menjadi topik pembicaraan. “KAKAK CANTIK!”
Mendengar seruan si bocah lucu, dengan kompak Dion dan Juan menoleh ke samping. Hanya untuk menemukan Naura dengan dot di tangannya juga dengan raut wajah yang bingung.
Naura, lagi.
“Jadi dot nya beneran punya lo?” Ini ketiga kalinya Rayden mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut gadis yang kini ada di hadapannya.
Rayden mendengus kesal, “Lo bisa gak sih, berhenti nanyain hal yang sama?”
Gadis yang dikenal banyak orang dengan nama 'Naura' itu menggeleng pelan. “Gak bisa. Gue bakal terus-terussan nanya, kalo lo gak juga ngejawab pertanyaan gue.”
Rayden menatap Naura datar. Kemudian laki-laki itu melangkah maju membuat Naura sedikit memundurkan tubuhnya karna Rayden semakin mempersempit jarak yang ada.
Setelah mengamati setiap inci wajah gadis yang menunjukan ekspresi was-was itu, Rayden berucap penuh penekanan. “Ini bukan urusan lo, gak seharusnya lo ikut campur.”
“Oke, fine. Gue minta maaf,” Naura mendorong pelan tubuh Rayden agar menjauh. “Tapi please ya, posisi kaya gini bisa bikin orang salah paham.”
Rayden menaikkan kedua alisnya, “Siapa yang bakal salah paham?” Ia mengedarkan pandangannya lalu kembali menatap Naura, “See, perpus lagi sepi. Lagian kita berdiri di balik rak buku, kalo lo lupa.”
Benar-benar menguji kesabaran. Naura mengatur nafasnya secara perlahan, lalu sedikit mendongak untuk menatap mata tajam milik laki-laki yang katanya bernama Rayden itu. “Rese, lo.”
Mengedikkan bahunya acuh, Rayden kembali menatap Naura dengan serius. “Denger ya, lo udah buat 10 menit berharga gue terbuang sia-sia gitu aja. Gue kesini buat ngambil barang gue yang ketinggalan, bukan buat dengerin omongan gak jelas dari lo.”
Melihat Naura yang menatap ke arah lain dan seakan tak mendengarkan ucapannya, Rayden meraih pundak gadis itu. “Gue lagi ngomong sama lo. Tatap mata gue dan dengerin ini baik-baik.”
“Ck, yaudah ngomong aja. Gue dengerin kok,” Ucap Naura malas seraya menepis tangan Rayden.
“Oke. First, gue mau lo takedown tweet lo itu. Second, anggap aja lo gak pernah nemuin ini di perpus,” Rayden menggoyangkan dot dengan motif pisang yang ada di genggamannya. “Last, tutup mulut lo dan anggap kalo kita gak pernah ketemu.”
Meski heran Naura tetap menganggukan kepalanya. “Kasih gue satu alasan, kenapa gue harus turutin permintaan lo.”
“Simple, karna gue gak mau berurusan sama lo.”
Setelah mengucapkan jawaban itu, Rayden memasukkan dot yang sedaritadi dia pegang ke dalam tas. Kemudian dia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Naura yang masih terdiam di tempatnya. Sempat dia dengar meski samar, gadis yang namanya tak dia ingat itu mengatainya 'Cowo aneh'. Namun Rayden tetaplah Rayden, dia tidak peduli.
“Gue harap ini yang terakhir,” Gumamnya pelan. Ya, Rayden harap hari ini adalah pertama dan terakhir kalinya dia bertemu dengan gadis itu. Karna Rayden tidak akan membiarkan rahasia yang selama bertahun tahun dia jaga terbongkar begitu saja hanya karna gadis itu.
But who knows? Ada yang bilang takdir adalah takdir. Ia akan terus berjalan sesuai rencana, bagaimanapun caranya.