Abu-abu
Naura memasuki cafe yang telah dijanjikan oleh Artha. Gadis itu mengedarkan pandangannya, kemudian berjalan masuk kala melihat sosok Artha yang melambaikan tangan di meja pojok sana.
“Sorry, gue telat. Gak nunggu lama, kan?” Naura bersuara tepat saat dia duduk. Dia menatap Artha tak enak.
“Santai aja, gue juga baru nyampe beberapa menit yang lalu.” jawab Artha. “Mau mesen minum dulu, gak?”
Naura menggeleng. “Langsung aja, Bang. Jadi apa yang mau lo omongin?”
“Akhir-akhir ini Rayden bikin lo repot banget, ya? Gue tahu dia beberapa kali ganggu waktu kuliah lo.” Artha terdiam beberapa saat. Sangat jelas bahwa laki-laki itu terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.
“Gue gak masalah buat itu.” ucap Naura.
Artha hendak bersuara namun terhenti saat Naura kembali berucap, “Lo kesini buat omongin kenapa Rayden kambuh separah itu akhir-akhir ini?” Tebaknya yang tepat sasaran.
Artha menghela nafas lesu. “Iyaa”
“Naura, banyak hal buruk yang bikin Rayden stres dan hilang kendali. Lo inget hari di mana Rayden ngurung diri di kamar?”
Naura mengangguk pelan. Dia baru sadar bahwa Artha masih belum menceritakan kejadian hari itu.
“Waktu itu Rayden datang ke reuni SMA. Lo tahu kan kalo Rayden itu keras kepala? Dia datang cuma buat buktiin kalo dia gak punya little space seperti yang temennya tuduhin ke dia. Lo pasti udah tahu gimana kelanjutannya. Rayden kambuh pas dia izin ke kamar mandi dan yaa ketauan sama temennya yang curiga itu. Dia marah banget sama dirinya sendiri. Balik-balik langsung masuk kamar terus mecahin semua barang-barangnya.” Artha menjeda ucapannya, “Dan lo tahu apa yang paling parah? Tiba-tiba aja papa bilang kalo dia mau jodohin Rayden sama Ratu.”
Mendengar ucapan Artha yang terakhir membuat Naura sedikit tersentak. “Dijodohin?”
Artha mengangguk. “Papa bahkan ngasih tahu Ratu soal little space nya Rayden. Gue jelas marah, gue sempet nyoba buat protes sama papa tapi enggak didengerin sama sekali. Papa selalu berlindung dibalik kata, “Ini yang terbaik buat Rayden” padahal nyatanya papa makin memperburuk mental Rayden.”
“Semakin Rayden banyak pikiran semakin sering Rayden kambuh.” lanjutnya.
“Sampe separah itu, ya?” Lirih Naura. “Gue masih belum terlalu ngerti soal keadaan Rayden, bang. Ada baiknya Rayden ngejalanin terapi, kan?”
“Gue udah mikirin soal itu. Gue udah mutusin supaya Rayden terapi lagi. Tapi Rayden selalu nolak dan bilang kalo dia gak butuh terapi atau apapun itu.”
Artha menatap Naura dengan sorot mata yang dalam. “Naura,”
“Iya?” Naura yang semula menunduk mendongak membalas tatapan Artha.
“Tolong bujuk Rayden supaya dia mau terapi, ya? Gue mohon, bantu Rayden buat bangkit pelan-pelan. Setidaknya sampai dia bisa kendaliin dirinya sendiri.”
Malam harinya Naura terlihat duduk sendirian di balkon kamar. Pikirannya berkecamuk. Masih memikirkan semua perkataan Artha tadi siang. Menyadari bahwa dirinya tak mengetahui apapun soal Rayden entah bagaimana membuat hatinya sedikit kecewa. Sejujurnya, Rayden masih begitu abu-abu dan terasa jauh. Naura ingin sekali mendekat namun karena ada batas yang tak bisa dia tembus membuat Naura hanya bisa berdiri di tempat. Lagi pula, sejak awal dia hanya orang baru yang dengan berbaik hati bersedia membantu Rayden, kan? Menemani laki-laki itu saat dalam kondisi little. Hanya itu.
“Semenjak bunda meninggal, papa banyak berubah. Rayden selalu jadi pelampiasan amarah papa. Gue merasa gagal jadi abang setiap kali gue sembunyi saat papa mukulin Rayden. Gue masih anak kecil yang cuma bisa ketakutan waktu itu. Berdiri dibalik tembok dan ngeliatin adek gue yang nangis manggil-manggil nama bunda.”
Naura menggeleng pelan. Tanpa sadar pipinya basah hanya dengan membayangkan bagaimana kondisi Rayden kecil saat dipukul oleh papanya sendiri. Kenapa semesta bisa berlaku kejam kepada laki-laki sebaik Rayden?
“Ternyata gue gak tahu apa-apa soal lo, ya.” Lirih Naura sambil menghapus air matanya sendiri.
“Maaf, Rayden. Kenyataan di mana lo dikelilingi orang-orang yang kemungkinan besar buat lo terluka, bikin gue ngerasa bersalah.”
“Karna gue menjadi bagian dari orang-orang itu.”