lrrenjun

Di tengah teriknya sinar matahari, Rayden berjalan sendirian di kawasan kampus. Pemuda itu hendak pulang mengingat dosennya tiba-tiba berhalangan hadir. Rayden mengedarkan pandangannya, banyak mahasiswa berlalu lalang di sini dan tak ada satupun yang ia kenal. Biasanya selalu ada kedua—

Rayden refleks menggelengkan kepala sebelum pikirannya mulai mengingat mereka. Kedua kaki jenjang yang melangkah secara bergilir itu tiba-tiba berhenti. Anehnya, ketika ia bahkan tak membiarkan mereka masuk ke dalam pikiran, semesta berkata lain.

Kedua bola mata boba itu berubah tajam. Menatap Juan dan Dion yang berdiri tak jauh di depannya. Kedua pemuda itu muncul dari arah yang berbeda, Juan dari arah kiri dan Dion yang muncul dari arah kanan. Entah mengikuti naluri masing-masing atau bagaimana, mereka termasuk dirinya sendiri refleks menghentikan langkahnya secara bersamaan.

Untuk sesaat Rayden merasa waktu berhenti berputar, ia merasa hanya ada dirinya bersama kedua sahabatnya di sini. Seketika atmosfer tak mengenakan menyelimuti mereka.

Rayden tak pernah mengira bahwa mereka bertiga akan menjadi seasing ini. Tak lagi bertegur sapa bahkan hingga melempar candaan. Tiga sekawan, yang kata orang-orang tak terpisahkan nyatanya kini menjadi sejauh ini.

Tuhan beserta semesta bahkan tahu bahwa Rayden tak pernah sekalipun menyesal mengenal kedua sahabatnya. Apa yang perlu Rayden sesalkan? ketika hanya ada rasa aman saat mereka bertiga berkumpul. Ketika hanya ada tawa di saat mereka menghabiskan waktu sedari SMA.

Mulanya, semuanya berjalan lancar.

“Juan, gue pengidap sindrom little space. Lo masih mau temenan sama gue?”

“Gue udah tahu dari Dion. Terus masalahnya di mana? gue masih mau kok temenan sama lo.”

“Gue cuma takut nyusahin lo nantinya.”

“Gapapa, selama kita temenan gue bisa lakuin semua yang terbaik buat lo.”

Juan yang menerima kekurangannya dengan tangan terbuka.

“Gue tadi ngelakuin apa aja?”

“Gak ada hal aneh yang lo lakuin, tenang aja. Kita langsung pulang waktu sadar Aden mengambil alih tubuh lo.”

“Makasih karena langsung bawa gue pulang, Dion.”

Dion yang selalu bisa ia percaya.

“Kalau bang Artha nginep di rumah temennya berarti lo sendirian di apartemen?”

“Ya, iyaa.”

“Yaudah, kita nginep aja di apartemen lo. Mau kan, Dion? daripada si Ray sendirian.”

“Udah gak usah, gue bisa jaga diri kok.”

“Enggak, kita tetep nginep!”

“Gue ngikut Juan aja.”

“Sip, ntar kita main PS sampai pagi!”

Mereka yang selalu menjaganya bahkan tanpa ia pinta.

“Kalian gak malu temenan sama orang yang mentalnya rusak? pftt, temenan kok sama orang yang gak bisa dewasa.”

“Tutup mulut lo, sialan. Mulut kotor lo itu gak berhak menghina temen gue!”

“Dion, Dion.. dikasih apa sih kalian sama Rayden sampai segitunya? kalian bahkan repot-repot ngurus Rayden waktu dia kambuh. Kalian sembunyiin aib dia dari semua orang. Kenapa? semua itu karena kasihan, kan? mau gue aja yang sebarin soal aibnya?”

“Berhenti, brengsek. Lo gak punya hak buat ngatur harus sama siapa Dion ataupun gue berteman.”

“Kita gak peduli sama pandangan lo. Silahkan buat satu kelas benci sampai jauhin Rayden, tapi jangan harap gue sama Dion bisa termakan omongan lo.”

“Kita bakal selalu temenan sama Rayden.”

“Inget itu, Marvel.”

Dan terakhir, perbincangan yang diam-diam Rayden dengar ketika masih sekolah menengah atas.

Semua yang Dion maupun Juan lakukan padanya, membawa mereka sampai di titik ini.

Ada banyak hal mengecewakan di dalam persahabatan mereka, meski tak dapat dipungkiri kebahagiaan lebih mendominasi.

Dengan segala pikiran yang berkecamuk. Rayden memilih melanjutkan langkahnya. Menembus jalan tengah di antara Juan dan Dion yang berdiri di sisi yang berlawanan.

Rayden tak repot-repot menyapa, ketika hatinya bahkan sangat ingin bertanya bagaimana kabar mereka. Rayden terus melangkah, ketika raganya sangat ingin berbalik dan mengajak mereka untuk saling bertukar cerita hingga keluh kesah.

Dia ingin semuanya kembali seperti dulu namun merasa masih belum siap. Rayden hanya membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Mereka telah membuatnya kecewa dan Rayden tentu harus bisa menyembuhkan lukanya terlebih dahulu.

Rayden tak tahu di belakang sana Juan dan Dion saling memalingkan wajah sebelum kemudian memilih pergi ke arah yang berlawanan.

Segala sesuatu yang telah rusak, butuh waktu untuk diperbaiki. Misalnya, persahabatan mereka.

“Ma, makan dulu y—”

Prang

Ini yang ketiga kali, mama-nya tak mau makan sesuatu yang dia bawa. Dion menghembuskan nafas pelan, menatap nanar nasi goreng yang baru saja dibuatnya berserakan dengan beberapa pecahan piring di lantai.

Pemuda itu berjongkok, bergerak membersihkan pecahan piring sebelum ke luar dari kamar sang mama tanpa mengatakan apapun. Bertepatan ketika ia berpapasan dengan bi Inah asisten di rumahnya, Dion segera berucap, “Bi, tolong siapin makanan buat mama, ya.”

“Sekalian tolong bersihin nasi yang ada di lantai sama beling-beling kecilnya. Jangan lupa pake sarung tangan.” Setelahnya Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur, menciptakan tatapan sendu dari wanita paruh baya yang menjadi asisten rumahnya.

Kekehan terdengar saat Dion membuang pecahan piring yang ada di tangannya ke tempat sampah. “Mama gak mau makan apapun yang udah gue pegang.”


“Mama butuh sesuatu?” Dion bertanya hati-hati ketika ia masuk ke dalam kamar Anya.

Yang ditanya sempat terdiam, sebelum menjawab. “Usir wartawan yang datang ke sini.”

Sontak hal itu membuat Dion melangkah mendekati jendela. Menyibak gorden kemudian menghela nafas kasar saat melihat satpam rumahnya sedang mencegah beberapa wartawan untuk masuk.

Ini sudah seminggu lebih dan sepertinya para wartawan itu tak kenal lelah. Mereka selalu datang ke rumahnya, hanya untuk meminta sang mama keluar dan bersedia diajak wawancara.

Berbicara dengan anaknya saja tak mau. Apalagi berbicara dengan orang asing seperti mereka. “Mama tenang aja, wartawan itu gak akan bisa masuk ke dalam rumah kita.”

Anya memalingkan wajah saat anak tunggalnya itu menghampiri kemudian duduk di kasurnya. “Mama, masih gak mau maafin Dion, ya?” Anya ingin sekali memeluk tubuh itu saat mendengar suara sang anak. Namun egonya tetap dipertahankan, dia masih merasa kecewa. Perasaannya dibuat sesak mengingat Dion yang telah melaporkan suaminya ke polisi.

Anya tahu suaminya salah. Namun tetap saja tak sepantasnya Dion berbuat seenaknya sampai membeberkan aib dari papa-nya sendiri. “Keluar.” Lagi-lagi hanya kata itu yang Anya suarakan.


“Kamu gak peduli sama papa?”

“Anak nakal. Papa bisa aja main uang supaya gak dipenjara. Papa bisa bebas tanpa bantuan kamu.”

“Jangan macam-macam, Pa. Terima aja hukumannya, papa pantas dipenjara.”

“Aku bisa laporin ke kakek kalau semisal papa nekat.” Erangan frustasi yang terdengar dari seberang sana mampu membuat Dion tersenyum kecil. Papa-nya itu tak bisa melawan jika sudah berurusan dengan sang kakek, ayahnya sendiri.

Mungkin ini memang sudah jalannya. Dion tak perlu repot-repot melaporkan papa-nya karena sudah ada Juan yang tanpa sadar menjadi perantara. Kini ia tak perlu merasa terbebani karena telah menyembunyikan kesalahan Dewa. Dion hanya ingin papa-nya sadar dan mendapatkan hukuman. Penjara belasan, puluhan, atau bahkan seumur hidup, Dion tak akan lagi peduli. “Papa jangan khawatir, aku bisa jaga mama di sini. Soal perusahaan ada kakek yang handle dan lagi jangan pernah hubungi kami. Tunggu sampai aku dan mama datang dengan sendirinya. Aku harap papa bisa sadar bahwa semua yang papa lakukan pada bunda Renata adalah sebuah kesalahan besar.”

“You took away one of my worlds.”

Dion menutup panggilan tanpa menunggu respon dari sang papa. Pemuda itu mengacak kasar rambutnya, dia benar-benar tak akan memperdulikan lagi pria yang menyandang status sebagai ayahnya itu. Sekarang, Dion hanya perlu meyakinkan mama, bahwa semuanya yang terjadi sudah menjadi seharusnya.

Di sinilah Dion berakhir. Berlutut di hadapan Ardan dan Artha yang hanya diam. Tangannya dengan gemetar meraih tangan yang lebih tua, “Om, Dion minta maaf.” Suara yang terdengar serak itu tak kunjung mendapat jawaban.

Dion beralih menatap kakak dari sahabatnya. “Bang Artha,” Panggilnya, berharap setidaknya Artha menjawab. Namun, yang didapat hanya Artha yang memalingkan wajahnya.

“Dion gak bermaksud buat merahasiakan semuanya. Dion punya alasan kenapa selama bertahun-tahun memilih bungkam.”

Merasa dadanya mulai sesak, pemuda itu menghela nafas panjang sebelum kembali berucap, “Om, Dion—”

“Om tidak menyalahkan kamu atas semuanya.” Ardan dengan cepat menyela. “Karena bagaimanapun saat itu kamu masih seorang anak kecil yang takut dipisahkan dengan ibu kandung kamu sendiri. Tapi yang paling om sesalkan adalah kenapa bisa-bisanya om lengah, terlalu fokus mencurigai semua musuh hingga tanpa sadar bahwa sahabat om sendiri yang menjadi pelakunya. Seseorang yang selama ini om cari.”

Ardan membantu Dion agar berdiri. “Kamu tahu, Diondra?” Tanyanya tepat ketika pemuda itu berdiri tegak di hadapannya. “Sehari sebelum semuanya terjadi, Renata meminta izin untuk ikut menghadiri pesta yang diadakan di kantornya. Om sempat sangsi untuk memberi izin sebelum pada akhirnya sadar bahwa papa kamu bekerja di perusahaan yang sama dengan Renata. Om percayakan istri om kepada papa kamu. Hingga esok harinya, Renata belum juga pulang. Hari itu juga om menyusul ke kantor, tanpa menyadari bahwa ponsel om tertinggal di rumah. Satpam di sana bilang acara selesai pukul 2 pagi, Renata harusnya sudah pulang. Mengingat om memperingatinya agar pulang sebelum pukul 12 malam. Om langsung kembali pulang ke rumah, berharap Renata sudah ada di rumah.”

“Kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya?” Pertanyaan itu dijawab gelengan oleh Dion. Dia tak berani bersuara dan hanya bisa mendengarkan semuanya dalam diam. “Istri om belum juga pulang, Diondra. Tiba-tiba aja ada nomor asing kirim om pesan, katanya datang ke gedung yang sudah lama tak terpakai di jalan mawar. Seseorang di seberang sana bilang bahwa dia mengetahui keberadaan Renata.”

“Om sampai di gedung itu. Bersama Artha yang semula memaksa ingin ikut. Om pikir di sana om bisa langsung bertemu Renata, kemudian membawanya pulang ke rumah agar Rayden yang tengah dijaga oleh Jeffery berhenti menangis. Tapi yang didapat hanya sebuah tubuh yang terbaring kaku di lantai.”

Ardan bergerak mengusap pipinya. “Om menemukan istri om dalam keadaan tidak bernyawa.” Dia beralih menatap putra sulungnya yang kini ada dalam pelukan Mela. “Satu lagi yang om sesalkan, harusnya hari itu om gak membawa Artha datang ke gedung. Artha juga masih belum dewasa saat itu, gak sepantasnya dia mengetahui bahwa ibu kandungnya diperlakukan keji.”

“Bertahun-tahun om mencoba merahasiakan penyebab kematian Renata dari Rayden. Kamu sendiri tahu gimana kondisi putra bungsu om. Terpaksa om dan Artha merahasiakan semuanya, kami sepakat memberi tahu Rayden bahwa Renata meninggal karena serangan jantung. Kami jadikan penyakit jantung koroner Renata sebagai alasan. Om bersyukur karena Rayden percaya.”

Dion masih bungkam. Bibirnya menjadi kelu saat Ardan bertanya, “Sekarang apa yang harus om katakan pada Rayden, Diondra?”

Tepat saat itu juga, sebuah bogeman mendarat di wajah Dion. Pemuda itu sampai tersungkur ke bawah, dia tak melawan saat Rayden mencengkram kerah bajunya. “Juan bener, lo lebih brengsek daripada dia.” Desisnya marah.

Awalnya Rayden berpikir bahwa dia tengah bermimpi saat televisi yang ada di rumah Jeffery menayangkan berita yang sama di seluruh salurannya. Sudah dua hari semenjak dia menginap di rumah dokter pribadinya itu. Hingga pagi tadi dia dikejutkan dengan berita yang mengatakan bahwa bundanya menjadi korban dari perbuatan keji yang dilakukan papa Dion.

“Jadi ini alasan sebenarnya? alasan di balik lo yang bersikap bak malaikat?” Rayden kembali memukuli Dion tanpa ampun, “Sialan, selama ini lo cuma ngerasa bersalah karena papa lo melecehkan dan membunuh bunda gue!”

“Gue buru-buru pulang ke rumah, berharap kalau berita itu gak bener. TAPI NGELIAT LO ADA DI SINI CUKUP BUAT GUE SADAR KALAU BERITA ITU EMANG BENER!”

Dion mencoba beranjak berdiri, pemuda itu terbatuk-batuk sembari meringis memegang perutnya yang sakit. Pukulan Rayden memang bukan main kerasnya. “Ray, gue minta maaf.” Nafasnya bahkan tercekat hanya dengan menyuarakan kalimat itu.

“Maaf lo bilang?” Sahut Rayden tak habis pikir. Dia berjalan mendekati sahabatnya, “Maaf lo gak akan pernah buat bunda gue kembali!” Sentaknya keras.

Rayden beralih menatap Ardan dengan pandangan kecewa. “Pembohong.” Gumamnya.

“KALIAN SEMUA PEMBOHONG!”

Pemuda kelahiran Juli itu berjalan mendekati sang kakak. Dicengkeram kerah baju Artha dengan erat, “Lo satu-satunya orang yang paling gue percaya, Bang. Lo orang yang jadi tempat gue berlindung di saat papa mulai gak mempedulikan gue. KENAPA LO HARUS IKUT BOHONG?”

“Rayden, papa bisa jelasin semuanya.” Ardan mencoba meraih tangan Rayden. Namun anak bungsunya itu mulai memberontak. Rayden bergerak menjauh, tak membiarkan dia menyentuhnya.

“Rayden juga anak bunda, Pa.” katanya dengan suara yang serak. Dia menatap sang papa dengan pandangan yang buram karena air mata. “Rayden berhak tahu penyebab kematian bunda.”

“TAPI KENAPA KALIAN TEGA BOHONGIN RAYDEN?” Rayden kembali berteriak keras bersamaan dengan air mata yang mulai luruh.

“Karena papa tahu kamu akan sehancur ini kalau tahu semuanya, Rayden!” Jawab Ardan pada akhirnya. “Papa cuma gak mau buat kesehatan kamu menurun, papa mencoba menjaga perasaan kamu.”

Suara isakan Rayden mulai terdengar jelas. Dia beringsut mundur, kemudian perlahan terduduk di lantai yang dingin. Kedua kakinya ditekuk, dia menyembunyikan wajahnya kemudian menangis lebih keras.

Bundanya terus dipanggil di sela tangisnya. Artha tentu tak bisa diam saja saat sang adik meringkuk dengan punggung yang bergetar. Lantas dia bergerak mendekat, sebelum sedetik kemudian berhenti saat Rayden bersuara, “Kakak cantik.”

Dengan cepat Artha beralih menatap Dion dan kedua orang tuanya secara bergantian. Artha sudah menduga bahwa hal ini akan berdampak buruk bagi kesehatan Rayden. Namun mengetahui bahwa sindrom sang adik kembali kambuh, tetap membuatnya terkejut. Padahal dia sudah berharap Rayden bisa mengontrol emosinya.

Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya. Bersimpuh di hadapan Aden yang masih menangis. “Aden,” Yang dipanggil langsung mendongak dengan mata boba yang memerah.

“Kak Atha…”

“Aden mau kakak cantik. Semua orang jaat, Aden ndda suka!” Anak itu mengadu. Praktis membuat Artha sedikit terkekeh. Sudah lama sekali dia tak melihat adiknya bertingkah seperti anak kecil. Aden masih sangat manis di matanya.

Artha beralih menatap Dion, “Tolong bawa Naura ke sini.” Meski suaranya terdengar dingin dia bersungguh-sungguh meminta tolong dengan tulus.

Maka detik itu juga Dion beranjak pergi dari kediaman Ardan. Dia akan membawa Naura bagaimanapun caranya. Dion hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Rayden, meski perbuatannya kini tak dapat menebus semua kesalahannya.

Dion berdiri di balik jendela kamarnya, mengintip keadaan ramai yang terjadi di bawah sana. Dia memperhatikan bagaimana para wartawan berjalan berdesak-desakan saat sang papa dibawa oleh dua orang polisi hingga masuk ke dalam mobil.

Suara bising yang saling bersahutan di bawah sana bahkan tak dapat didengar dengan jelas. Dion tak dapat mencerna semuanya. Masih jelas di ingatan bagaimana papanya yang berteriak menyalahkan dia pagi tadi.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, pemuda itu sampai terlonjak kaget saat seseorang menarik tangannya agar berbalik dan dalam sepersekian detik rasa perih dia rasakan di pipi kirinya.

“Kamu yang lakuin semua ini?” Dion mendongak mendengar suara itu. Menatap sang mama yang baru saja menamparnya.

“Kita udah sepakat untuk melupakan semuanya.” Anya mencengkeram erat hoodie yang dipakai anaknya, “kita udah sepakat gak akan mengungkit masalah ini. TAPI KENAPA KAMU LAPORIN PAPA KAMU SENDIRI, DIONDRA?”

“Kamu pikir mama senang sekarang? mama sedang dalam tahap melupakan semuanya. Kamu gak tahu sesakit apa perasaan mama saat tahu bahwa papa kamu melakukan hal yang gak seharusnya dan dengan ngelakuin ini kamu cuma nambah rasa sakit mama.” Anya memalingkan wajahnya. Dadanya sesak bukan main. “Apa yang kurang selama ini? papa selalu ngasih apa yang kamu mau, kami izinkan kamu untuk tetap berteman dengan Rayden. Kami bebaskan kamu untuk melakukan apapun yang terbaik untuk Rayden. Setelah semuanya, bisa-bisanya kamu tetap melaporkan papa kamu?”

Dion tak berkutik sedikitpun. Pemuda itu hanya menunduk, bibirnya kelu hanya untuk menjawab. Dia biarkan sang mama menumpahkan segalanya. Tanpa berniat menyela atau bahkan menentang.

“Ini pertama kalinya, kamu buat mama menyesal pernah melahirkan kamu.” Diam-diam tangan Dion mengepal kuat di sisi tubuhnya.

Hingga saat Anya kembali berucap, “Mama kecewa sama kamu, Diondra.” kemudian berlalu pergi ke luar kamarnya, detik itu juga Dion jatuh bersimpuh.

Dia menekuk kedua kakinya dengan punggung yang bersandar pada jendela kamar. Perkataan sang mama benar-benar berhasil menyakiti relung hatinya. Terdengar berulang-ulang hingga tanpa sadar Dion menutup kedua telinganya.

Gila ya, kamu? kamu laporin papa?

Papa pastikan kamu akan menyesal, Diondra.

Ini pertama kalinya, kamu buat mama menyesal pernah melahirkan kamu.

Mama kecewa sama kamu, Diondra.

Dion menggelengkan kepalanya. Menutup kedua telinganya kuat-kuat. Dion bahkan tak sadar sejak kapan air mata turun membasahi kedua pipinya. Pemuda itu menutup kedua matanya. Hingga sebuah kejadian kembali datang dalam pikiran.

“Kamu mau pulang sekarang?” Tanya seseorang kepada Dion yang sedang berdiri di ambang pintu.

“Kok cepet banget, sih? ini masih pagi tahu!” Suara yang terdengar lebih lembut ikut menyahut.

Dion mengangguk sekenanya. “Hari ini mama pulang, aku sama papa sebentar lagi mau jemput mama di bandara.”

“Mainnya kita lanjut nanti ya, Juan, Naura.” Lanjutnya sembari menatap mereka bergantian.

Meski sedikit tak rela karena mereka baru saja main satu jam setelah bangun, Juan pada akhirnya mengangguk. “Yaudah, kamu hati-hati ya, Ndra.”

“Pokoknya nanti kamu harus nginep lagi di rumah Juan! aku juga nanti izin sama mami papi buat nginep di sini lagi. Nanti mainnya harus lebih lama, oke?” Dion beralih menatap teman perempuannya. Dia melangkah mendekat, hanya untuk mengusap surai Naura yang mulai memanjang. “Iyaa, Naura.”

Diperlakukan seperti itu lantas Naura hanya dapat tersenyum manis. Gadis itu beralih menatap supir pribadi keluarga Juan. “Paman, tolong anterin temen Naura dengan selamat, ya!”

“Iya siap, Non.”

“Aku pulang dulu, bye bye!” Dion melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil yang sering dipakai oleh papa Juan.

“Bye bye, Diondra!” Seru Naura lantang bersamaan dengan mobil yang mulai melaju.


“Apa yang kamu lakukan, Dewa?”

Baru saja hendak masuk rumah, Dion langsung disapa oleh suara itu. Dia beringsut bersembunyi di balik kursi ruang tamu. Sedikit mengintip untuk melihat apa yang terjadi.

“Kenapa bunda ada di sini?” Gumamnya sangat pelan. Yang dimaksud bunda adalah Renata. Ibu kandung dari sahabatnya sendiri, Rayden. Dion memang sangat mengenal baik Renata. Ibu dari sahabatnya itu telah melakukan banyak hal untuknya maka tak heran jika Dion menganggapnya sebagai bunda sendiri.

“Ta, saya bisa jelasin.” Dewa melangkah maju, berusaha mendekati Renata yang terus bergerak mundur dengan tubuh yang bergetar.

“Kemarin saya terpengaruh alkohol—”

“Persetan dengan alkohol, kamu sudah melecehkan aku!” Renata terisak pelan. “Aku meminta kamu untuk berhenti, Dewa.”

Meski belum dewasa, Dion masih dapat mengerti apa yang baru saja diucapkan oleh bunda Renata.

“Maafin saya, saya beneran gak bermaksud.” Dewa terus melakukan pembelaan dengan suara yang terbata-bata. Dan hal itu membuat Renata muak.

“Suamiku harus tahu sebejat apa sahabatnya ini.” Mendengar perkataan Renata lantas tanpa sadar membuat Dewa mengeraskan rahangnya.

“Kamu mau kasih tahu Ardan soal ini?”

“Iya!” Jawab Renata cepat. “dia harus tahu.”

“Saya gak sengaja, Renata.”

“Berhenti mencari pembenaran!” Renata menyentak keras, “harusnya kamu berhenti ketika aku meminta, Dewa.” Dengan gemetar tangannya berusaha menghubungi sang suami, “aku tetap akan melaporkan kamu.”

Dewa sempat berdecih pelan. “Iya, silahkan. Silahkan mengadu kepada suami kamu itu. Karena bukan cuma saya yang akan rugi tapi kamu juga yang akan paling dirugikan.”

Mendengar itu Renata mengerutkan keningnya, dia hendak menjawab sebelum Dewa kembali berucap, “Kamu hanya akan menjadikan diri kamu kotor di hadapan suami kamu sendiri.”

Renata menatap Dewa tak habis pikir. “KAMU YANG BERBUAT KENAPA AKU YANG KOTOR?” Teriaknya tak terima. Pandangannya kembali memburam, sekali saja berkedip maka tanpa dapat dicegah air mata akan kembali turun.

“Renata,” Dewa meraih kedua tangan Renata. “kita selesaikan semuanya baik-baik, ya?” Suaranya terdengar melembut. “kita rahasiakan semuanya, anggap saja kejadian semalam cuma mimpi buruk.”

“Cuma ini satu-satunya cara agar kita tetap aman.” kata Dewa, laki-laki dewasa itu mencoba mengajak istri dari sahabatnya untuk bekerja sama. Dia bisa celaka jika Renata tetap nekat melaporkan perbuatannya. Dewa tidak mau kehilangan Anya hanya karena kesalahan semalam.

“Segampang itu?” Lirih Renata. Ditatapnya Dewa dengan mata yang memerah, Renata menghempaskan tangan Dewa. “kamu pikir aku wanita apa? gimana bisa aku melupakan kejadian semalam dalam waktu sekejap?”

Dewa menghela nafas, ternyata Renata tak semudah itu untuk diajak kerjasama. “Tadinya aku cuma mau kasih tahu semuanya sama Ardan, tapi aku berubah pikiran. Melaporkan kamu kepada polisi sepertinya keputusan yang lebih tepat.”

Perkataan Renata praktis membuat Dewa panik. Dia bergerak maju saat Renata kembali mundur menjauhinya, “Renata, kamu gak perlu sejauh ini.” ucapnya bersamaan dengan Renata yang terlihat mengotak-atik ponselnya.

Dewa mengusap rambutnya frustasi. Pergerakannya tiba-tiba terhenti saat dia menyadari sesuatu. Diam-diam tangannya bergerak mengambil sesuatu yang ada di sakunya. Kemudian dia beralih menatap Renata.

Di sisi lain, Dion yang menyaksikan semua itu menutup kuat mulutnya. Berusaha tak mengeluarkan suara sedikitpun meski dia sendiri ingin berteriak dan menghentikan papanya yang bisa saja membahayakan bunda Renata.

Matanya memperhatikan bagaimana tangan Dewa yang dengan lihai memainkan pisau lipat di belakang tubuhnya. Dion melupakan satu hal. Papanya itu selalu membawa pisau lipat di sakunya untuk berjaga-jaga.

“Renata,”

“Jangan mendekat,” Renata beringsut mundur saat Dewa berjalan mendekatinya. “jangan mendekat atau aku telpon Ardan sekarang.”

“Kamu beneran mau laporin saya?”

Renata bergerak gelisah. Suara yang terkesan datar itu sedikit mengusiknya, ditambah lagi tatapan yang Dewa berikan membuat Renata takut. “K-kamu mau apa?” Tanyanya saat menyadari bahwa ada sebuah pisau lipat di tangan Dewa.

Saat itu Dion berharap bahwa dia buta. Dia tak dapat berkutik sedikitpun ketika matanya dengan jelas melihat Renata yang terus memberontak ketika Dewa mengangkat pisaunya. Dion berharap dia tuli saat telinganya mendengar dengan jelas teriakan dan jeritan kesakitan yang Renata keluarkan. Anak itu menggelengkan kepalanya, dengan mata kepalanya sendiri dia melihat bagaimana papanya dengan kejam menikam bunda Renata hingga tewas. Sosok wanita yang sudah dia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.

Air mata berlomba-lomba turun membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, apa yang baru saja dia lihat? Dion berharap ini hanyalah mimpi buruknya. Siapapun tolong bangunkan dia.

Kenapa papanya membunuh bunda Renata? apa yang harus dia lakukan? mama nya pasti sudah menunggu di bandara sejak tadi, namun kenapa dia malah ada di sini? menjadi satu-satunya saksi pembunuhan di mana sang papa yang menjadi pelaku.

Pikirannya berkecamuk. Dion menggelengkan kepalanya, keringat bahkan terus mengalir di pelipisnya. Di balik kursi anak itu meringkuk ketakutan. Hingga tak lama setelah itu sebuah suara berhasil menyadarkannya.

“Keluar.”

Dion menunduk dalam. Berdoa dalam hati semoga papanya hanya sedang berbicara sendiri.

“Keluar sebelum papa berubah pikiran.”

Apa papanya mengetahui dia ada di sini? menyaksikan semuanya? Dion menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya.

“KELUAR, DIONDRA!”

Punggung kecil itu bergetar hebat mendengar suara teriakan Dewa. Jika terus bersembunyi maka segalanya bisa lebih runyam, maka dengan perasaan takut bukan main Dion perlahan berdiri. Dia bahkan tak berani menatap sang papa.

Dion berjalan pelan menghampiri Dewa sembari menunduk dalam. Di tempatnya Dewa menghela nafas kasar sebelum berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang anak.

“Diondra.” Tangan yang kotor karena darah itu bergerak mengusap pipi Dion.

“Kamu gak lihat apa-apa. Yang tadi cuma mimpi buruk kamu, oke?” Dewa berusaha memberi pengertian kepada Dion dengan suaranya yang ia buat selembut mungkin.

Dion mengernyit sembari berusaha menghentikan tangan Dewa yang tengah mengusap pipinya. Dia tak suka disentuh oleh tangan kotor itu.

“Dion, kamu dengar apa kata papa?”

Susah payah Dion beralih menatap Dewa. “Papa,” panggilnya lirih. Dia hendak kembali bersuara sebelum Dewa menyela, “Jangan kasih tahu mama soal ini, jangan kasih tahu siapapun. Papa akan mengurus semuanya, jadi kamu cuma perlu tutup mulut.”

“Apa yang papa lakukan?”

“Ssttt.” Dewa memberi isyarat agar anaknya diam.

Ditatapnya sang anak dengan lekat, Dewa berkata penuh penekanan. “Diondra, seandainya kamu berani melaporkan hal ini papa gak akan segan-segan buat hidup kamu menderita. Papa akan mengirim kamu ke luar negeri untuk belajar bisnis dan gak akan papa biarkan kamu bertemu mama bahkan meski sedetik.”

Diancam seperti itu lantas Dion menggeleng ribut, “Papa jangan kirim Dion ke luar negeri, Dion gak mau pisah sama mama.”

“Karena itu kamu harus rahasiakan semua ini.”

“Kamu mengerti, Dion?”

Tak ada seorang anak yang ingin dipisahkan dengan ibu kandungnya sendiri. Dion tak ingin belajar bisnis, dia tak ingin jauh dari sang mama. Senyum tercetak jelas di bibir Dewa saat melihat Dion mengangguk pasrah. Pada akhirnya, saat itu Dewa berhasil membuat anak semata wayangnya menutup mulut hingga bertahun-tahun.

“Bukan Dion.”

“Bukan Dion yang ngelaporin papa, Ma.”

“Bukan.”

Anak yang menjadi saksi pembunuhan itu telah beranjak dewasa. Tak banyak yang berubah, semuanya masih tetap sama. Termasuk ketakutan yang dirasakan anak itu.

Dion mengusap kasar kedua pipinya. Dia menggeram marah, tangannya kemudian meraih ponsel yang ada di atas nakas.

Dia tahu jelas Juan ada di balik semua ini. Maka dengan perasaan kalut, kedua ibu jarinya bergerak lihai di atas layar.

Sialan.

Gue tahu ini ulah lo.

“Setelah buat ibu gue kecelakaan sampai meninggal, ternyata lo belum puas juga, ya?” Shaka berucap sembari menatap Arkana dengan raut wajah datar.

Dapat Shaka lihat pemuda april itu mengangkat alisnya dan tertawa sinis, “Gue gak akan pernah puas sampai lo ikut nyusul wanita pelacur itu.”

“Ibu gue bukan pelacur!”

“Tapi nyatanya dia selingkuh sama papa!” Sentak Arkana. Dia menatap Shaka tak suka, “Itu udah membuktikan bahwa ibu lo adalah wanita pelacur yang seenaknya menggoda suami orang. Ibu lo itu pelakor yang gak tahu diri.”

Shaka menggelengkan kepalanya. “Ibu gue bukan pelakor, Arkana. Justru ibu lebih dulu mengenal ayah dibanding mama Adiva. Ayah sama ibu dulu itu pacaran, tapi tiba-tiba aja mama Adiva datang sebagai wanita yang dipilih oleh kakek untuk bersanding dengan ayah.”

“Jangan panggil ibu kandung gue dengan sebutan mama! Lo bukan anaknya.” Sambar Arkana. Mendengar Shaka menyebut kata mama membuat dia muak.

“Gue gak peduli tentang kebenaran itu, yang jelas ibu lo udah ngerusak kebahagiaan keluarga gue!” Nada suara Arkana naik satu oktaf. Ditatapnya Shaka tajam dengan nafas yang memburu.

Shaka menghela nafas lesu. Pemuda itu menatap Arkana sendu sebelum berucap, “Sesulit itu buat nerima gue?”

“Gue gak tahu apa-apa, Arka. Awalnya gue cuma punya seorang ibu, kita hidup berdua selama belasan tahun. Gue udah merasa bahagia walaupun gue gak pernah ngerasain figur seorang ayah. Dulu hidup gue udah lebih dari cukup, Ka.” Shaka menjeda ucapannya, hanya untuk melihat bagaimana Arkana yang membuang muka. “Sampai suatu ketika, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayah gue. Beliau minta maaf sampai bersujud di kaki gue, saat itu gue gak tahu harus bereaksi kayak gimana. Ibu juga gak banyak berbicara, ibu cuma nangis dan nangis tanpa menjelaskan apapun ke gue. Tapi perkataan ayah saat itu menjawab semua kebingungan gue.”

“Katanya, maafkan ayah yang menjadikan ibu kamu sebagai orang ketiga. Padahal kenyataannya dia yang pertama dan terakhir bagi ayah. Maaf karena menghadirkan kamu di waktu dan keadaan yang tak tepat. Maaf karena membuat kamu tumbuh tanpa seorang ayah.”

Shaka tertawa miris. “Lucu, ya? Kita sama-sama punya luka, Arkana. Namun, dengan penyebab yang berbeda.”

“Hati lo masih belum terketuk juga, ya?”

Suara pecahan gelas yang dilempar, sedikit membuat Shaka tersentak. “Gue gak peduli.” Sahut Arkana, nada suaranya kelewat sinis.

“Minta maaf, Arkana.”

“Apa lo bilang?”

“Minta maaf, kalo bisa bersujud di kaki gue. Lo gak merasa bersalah sedikitpun setelah merenggut dunia gue?” Tanya Shaka yang dibalas kekehan oleh Arkana.

“Gue justru merasa puas karena udah melenyapkan pelacur itu.” Jawab Arkana santai, sebelum sebuah bogeman menghantam pipinya dengan keras, membuat pemuda itu tersungkur ke bawah.

“Bajingan.” Desis Shaka, marah. Arkana telah melewati batasnya.

Suara tawa Arkana terdengar jelas di unit 116 yang tengah sepi itu. Dia beranjak berdiri, sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah. “Setidaknya gue bukan anak haram.” katanya penuh penekanan.

Perkataan itu praktis membuat emosi Shaka kembali memuncak, dia memukuli Arkana dengan brutal. Mulanya, Arkana tak membalas. Namun saat melihat Shaka yang mulai kelelahan sendiri, Arkana langsung menghajar Shaka seperti orang kesetanan.

Kini penampilan kedua pemuda itu tak jauh berbeda. Keduanya babak belur, namun Shaka terlihat sedikit lebih parah. Arkana menyeret Shaka menuju balkon dengan kasar. Mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan, akhirnya Shaka dapat mengunci pergerakan Arkana. Pemuda itu duduk di atas perut Arkana, kemudian kembali menghajarnya.

Arkana tak dapat bergerak, dia menutup matanya, menahan nyeri saat pukulan keras menghantam wajahnya. Hingga saat Arkana melihat Shaka mulai lengah, pemuda itu segera melawan. Arkana membalikkan keadaan, dicengkeramnya kerah baju Shaka dengan erat, Arkana membawa Shaka berdiri.

“Selamat tinggal, Shaka. Semoga lo hidup sengsara di atas sana.” Kalimat perpisahan yang Arkana ucapkan, sebelum dia mendorong Shaka tanpa belas kasihan hingga terjatuh ke bawah.

Dan Shaka tak sempat menyelamatkan dirinya sendiri. Sebab, tepat saat tubuhnya di dorong, Shaka tiba-tiba kehilangan tenaganya.

23 April 2017

Saat itu Arkana masih menginjak kelas 3 SMP, tepatnya sebentar lagi dia akan lulus. Arkana mengucapkan terimakasih kepada pak supir sebelum turun dari mobil, anak remaja itu berjalan memasuki rumah sembari bersenandung kecil. Dalam hati, Arkana sudah menerka-nerka hadiah apa yang akan diberikan oleh orang tuanya? Mengingat hari ini adalah hari ulang tahunnya. Mereka belum mengucapkan selamat ulang tahun dan Arkana berpikir mungkin kedua orang tuanya sengaja melakukan itu padahal diam-diam mereka telah merencanakan kejutan untuknya. Iya, Arkana telah mengetahui taktik dari mereka.

Wajah antusias yang tercetak jelas di wajahnya luntur begitu saja saat dia melihat mama tengah menangis di ruang tamu. Ada dua orang asing yang duduk di samping papa, seorang wanita dan anak laki-laki seumurannya.

Arkana berjalan menghampiri Adiva —Mamanya— dengan raut wajah khawatir. Dia berjongkok di hadapan mama, diraihnya kedua tangan halus itu dengan lembut. “Mama, kenapa?”

Mama tak menjawab, beliau hanya menangis membuat Arkana beralih menatap Javio. “Papa?”

“Ke sini, papa ingin menjelaskan sesuatu.” Tutur Javio yang langsung dituruti oleh Arkana.

Tangan besar Javio mengusap surai Arkana saat anaknya itu telah duduk di sampingnya. Beliau menatap Arkana sendu, kemudian berucap. “Papa mau jujur. Maaf Arkana, papa pernah tidur dengan wanita lain saat kamu masih 4 bulan.”

“A-apa?” Nafas Arkana tercekat mendengarnya. Anak itu beralih menatap dua orang asing yang duduk di sofa lain.

“Dia wanita itu dan di sampingnya adalah Shaka. Adik tiri kamu—”

Belum sempat Javio menyelesaikan perkataannya, Arkana melempar beberapa gelas yang ada di meja. Menimbulkan suara pecahan yang cukup keras.

“Papa selingkuh?” Arkana menatap Javio tak habis pikir. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Dengan pandangan yang buram karena airmata, Arkana menoleh melihat mama. Adiva masih di sana, menangis dengan suara yang lebih kencang.

Javio beranjak berdiri, beliau mendekati Arkana. “Papa minta maaf, papa tahu papa salah. Papa hanya ingin jujur, Arkana. Papa ingin kamu akur dengan Shaka. Kamu mau punya adik, iya, kan?”

Menghempaskan tangan Javio yang menggenggam tangannya, Arkana kembali menatap papa nya itu. “Adik? Haha sialan. Aku memang mau punya adik tapi dari rahim mama, BUKAN DARI RAHIM WANITA PELACUR ITU!”

“ARKANANTA!” Javio berteriak mendengarnya. Arkana tak pernah berbicara kasar selama ini, darimana anaknya mengetahui kata-kata kasar seperti itu?

“Di mana sopan santun kamu?”

Arkana berdecih tak suka, “Persetan dengan sopan santun, seorang pelacur dan anak haram tak pantas dihormati.” ucapnya sarkas sebelum berlari ke kamarnya.

Namun saat Arkana melewati ruang keluarga, dia berhenti. Ruangan itu telah dihias sedemikian rupa, terdapat balon foil bertuliskan Happy Birthday Arkananta di dinding berwarna putih itu.

Ulang tahunnya telah hancur. Kenyataan di mana papa berselingkuh dengan wanita lain sampai memiliki seorang anak seumurannya, benar-benar menghancurkan ekspetasi Arkana mengenai kejutan ulang tahun. Maka dengan perasaan penuh emosi, Arkana melempar asal kue ulang tahun yang ada di meja kemudian dia menghancurkan seluruh hiasan yang ada di ruang keluarga itu.

Ulang tahunnya benar-benar hancur.


“Mama, pasti sakit, ya?” Ini sudah seminggu semenjak papa jujur tentang semua di hari ulang tahunnya. Arkana menatap sendu Adiva yang hanya menunduk diam.

“Sakit, Arka. Tapi mama tak bisa berbuat apa-apa.” Lirih Adiva. Mendengarnya, Arkana menggeram kesal. Semenjak hari itu, Papa mengajak Rania dan Shaka agar tinggal di rumahnya. Arkana sudah berkali-kali menentang tapi papa tak pernah menghiraukan penolakannya.

Arkana mendekati Adiva, dipeluknya sang mama dengan penuh kasih sayang. “Mama, Arka janji bakal buat keluarga kita bahagia kayak dulu, gimana pun caranya. Tunggu saat itu tiba, ya? Tolong bersabar sedikit lebih lama.”


Hari itu kediaman Danendra tengah berkabung. Kematian dari Rania meninggalkan rasa sakit yang mendalam di hati Javio terutama di hati Shaka. Suara sesenggukan dari Shaka yang tengah menangis menjadi backsound di ruang keluarga yang hening itu.

Javio menarik Shaka ke dalam dekapannya. Tangannya terulur mengusap surai Shaka dengan lembut sembari berucap, “Yang ikhlas ya, Nak.”

“Ayah, ibu pergi..” kata Shaka terbata-bata.

“Ibu ninggalin Shaka.”

“Shaka udah gak punya siapa-siapa sekarang.” Shaka semakin terisak setelah mengucapkan itu. Sekarang dia hanya sendirian di dunia ini.

Lantas Javio menggelengkan kepala tak setuju. “Kamu gak sendiri, sayang.”

“Ada ayah di sini. Kamu juga punya mama Adiva dan punya kak Arkana.” Lanjut Javio.

Saat namanya di sebut, Arkana yang semula pura-pura sibuk bermain handphone, melempar benda digital itu. Dia beranjak berdiri, menatap Shaka dengan penuh kebencian. “Gue gak sudi punya adik anak haram.” ucapnya sebelum pergi meninggalkan ruang keluarga.


“Mama, ayo kita usir Shaka dari rumah ini!”

“Gak boleh sayang, kasian Shaka.”

Arkana berdecak kesal. “Kenapa sih, mama peduli sama dia? Dia anak papa dengan wanita pelacur itu, Ma. Dia anak haram!”

“Tapi terlepas dari itu semua, Shaka tidak salah apa-apa, Arkana.”

“Terserah, Arkana kecewa sama mama.”


“Sekolah asrama, ya?” Gumam Arkana. Dia menyeringai mengingat perkataan papa beberapa jam yang lalu.

Javio meminta agar Arkana dan Shaka melanjutkan sekolahnya di school dream. Itu artinya mereka akan lepas dari pantauan Javio dan Adiva, iya kan?

Tersenyum kemenangan, Arkana kembali bergumam. “Ini kesempatan yang bagus buat melukai Shaka.”

“Adik tiriku yang malang. Harusnya lo dan ibu lo itu gak usah kembali ke kehidupan papa, dengan begitu gue gak perlu repot-repot ngelakuin hal sekejam ini.”

“Tapi nasi udah jadi bubur.”

“Shaka, gue sendiri yang akan mengantar lo ke jalan kematian. Supaya lo bisa hidup sengsara di atas sana bersama wanita pelacur itu.”

Pagi itu mereka benar-benar datang ke gudang. Gelap, kotor, dan kumuh adalah pemandangan pertama yang mereka lihat saat membuka pintu. Ruangan ini terlihat menyeramkan.

Mereka sibuk mengobrak-abrik barang yang ada di gudang, mencari di mana tumpukan koran yang Pak Jaksa maksud tempo lalu.

Zidan sesekali melirik Shaka yang pandangannya terlihat kosong sejak mereka memutuskan untuk datang ke sini. Pemuda itu bahkan tak membantu mencari koran, hanya sekedar menatap sekeliling gudang dalam diam.

“Di sini korannya.” Suara Cakra mengalihkan atensi yang lain. Dia berjongkok untuk mengambil tumpukan koran yang di sembunyikan di bawah meja yang letaknya paling ujung.

Tumpukan koran yang cukup banyak, maka dengan begitu Hasbi mengambil sebagian dari koran itu. “Sisanya kalian baca bareng-bareng.” ucap Hasbi saat melihat tatapan bingung yang mereka berikan.

Mereka kemudian membaca koran itu satu-persatu, tanpa menyadari Shaka yang mulai melangkah mundur. Pemuda itu terlihat gelisah, lalu tersentak kaget saat Hasbi menjatuhkan koran yang baru saja dia baca.

Perlahan Hasbi mendongak menatap Shaka. “L-lo..”

Raihan berjalan mendekat. Dia mengambil koran usang yang Hasbi jatuhkan itu. Matanya bergulir membaca sederet kalimat panjang yang ada di sana. Dengan suara yang bergetar dia membaca ulang, “Seorang siswa tewas akibat di dorong dari atas gedung,”

Yang lain segera memfokuskan perhatiannya kepada Raihan, “Naufal Shaka Danendra.”

Saat namanya disebutkan, Shaka kembali melangkah mundur. Berbeda dengan Madava, Cakra, dan Zidan yang terdiam membeku, Raihan mencengkram erat koran itu. Dia melangkah mendekati Shaka kemudian melempar koran yang dipegangnya tepat ke wajah Shaka. “Apa ini?”

Shaka menunduk dalam, tak berniat menjawab sepatah katapun. “APA INI, SHAKA??!” Teriakan Raihan menggema di antara suasana gudang yang hening itu.

“Jadi selama ini lo pelaku di balik semua kejadian aneh yang kita alamin? Lo yang menyerupai Arkana di balkon saat itu, lo juga yang menyerupai Madava waktu di kamar mandi sama Cakra, dan lo penyebab dibalik mimpi buruk Hasbi dan Zidan. Jawab gue, MOTIF LO NGELAKUIN SEMUA INI ITU APA?” Raihan terus menyerbu Shaka dengan pertanyaan dan pernyataannya. “Dimana Arkana? Gue tahu lo yang sembunyiin dia.”

Hasbi berjalan menghampiri Shaka. Dicengkeramnya kerah baju pemuda itu dengan penuh emosi. “Kenapa lo ngelakuin semua ini? Punya salah apa kita sampai lo buat kita ketakutan dengan hal aneh yang kita alamin akhir-akhir ini.” Shaka memejamkan matanya saat Hasbi berteriak, “KENAPA LO BISA ADA DI ANTARA KITA?”

“LO TULI? JAWAB GUE, ANJING!”

Shaka menghempaskan Hasbi dengan seluruh tenaganya, membuat pemuda tan itu tersungkur ke bawah.

“Shaka!” Madava yang sedari tadi diam menyentak keras. Dia beralih menatap Hasbi yang kini dibantu oleh Cakra dan Zidan.

“Mau lo apa?” Tanya Madava saat tatapannya kembali bertemu dengan Shaka.

“Gak adil rasanya kalo hidup kalian tentram tanpa ada masalah, berbeda dengan gue yang selalu merasa ketakutan bahkan di hari kematian gue!” Shaka mulai bersuara. Pemuda itu menatap mereka satu-persatu. “Gue tahu gue salah, tapi kurang baik apa gue sama kalian selama kita tinggal bareng?”

“Gue cuma mau punya temen.”

“Tapi lo gak seharusnya ada di sini, terlepas dari apapun yang lo alamin semasa hidup. Kita gak ada sangkut pautnya sama kematian lo, Shaka!” Raihan menyela. Dadanya naik turun karena emosi.

“Gue gak pernah minta supaya kalian bisa lihat gue, gue gak pernah berharap kalian menyadari kehadiran gue. GUE GAK NGELAKUIN APAPUN KARENA KALIAN SENDIRI YANG DATANG KE UNIT 116.”

“Gue gak mungkin tiba-tiba bilang kalo gue bukan manusia saat pertama kali kita kenalan.”

“Dan semua itu juga bukan kemauan kita.” ucap Cakra menengahi.

Suasana menjadi hening sebelum Zidan bersuara, “Tolong kembaliin Arkana dan pergi dari sini, Shaka.”

Detik itu juga suara seseorang yang terjatuh terdengar sangat nyaring. Arkana merintih kesakitan memegang perutnya. Badannya terasa remuk karena baru saja dilempar hingga ke sini. Pelipis pemuda itu berdarah akibat terbentur meja yang ada di sampingnya.

“Arkana!” Teriak mereka panik. Raihan yang lebih dulu menghampiri, dia membantu Arkana berdiri.

Madava memperhatikan penampilan Arkana yang sangat kacau. Dia beralih menatap Shaka. “Apa yang lo lakuin? Lo mau bunuh Arkana, Shaka??!”

Shaka menggeleng pelan. “Gue bukan pembunuh dan gak akan pernah jadi pembunuh.”

“Persetan dengan pembunuh, lo udah buat temen gue terluka.” Satu bogeman Hasbi berikan pada pipi Shaka.

Madava mendekat mencoba melerai. Dia menarik Hasbi agar mundur, “Jangan pake kekerasan, Bi.”

“Kenapa jangan? Mau gue tonjok berkali-kali pun dia gak akan mati, karena dia bukan manusia!” Hasbi menghempaskan tangan Madava.

Menghela nafas panjang, Madava menatap yang lain satu-persatu. “Tolong hargai gue sebagai yang tertua di sini.”

Kemudian pemuda itu melangkah maju dan berhenti tepat di hadapan Shaka. “Gue gak mau masalah ini makin melebar kemana-mana. Jangan sampai pihak yang gak bersangkutan tahu soal masalah ini.”

“Gue kasih lo kesempatan buat kabur. Pergi dari sini, Shaka.” ucap Madava membuat Shaka menatapnya sendu.

“Kita gak bisa temenan aja, ya?”

Hasbi menyahut. “Gue gak mau temenan sama setan.”

“Hasbi.” Tegur Madava.

“Gak bisa, ini bukan tempat lo.” Raihan ikut menyahut.

Shaka melakukan pembelaan. “Kehadiran gue gak merugikan, kenapa gue harus pergi?”

“Merugikan.” Arkana menyela. Pemuda itu sesekali meringis saat rasa sakit dan ngilu kembali mendera.

“Kehadiran lo merugikan kita semua.” kata Madava. “Jadi tolong kembali ke dunia lo, Shak. Gue turut sedih saat tahu ternyata lo korban dari pembunuhan. Tapi sekali lagi, kita berenam gak ada sangkut pautnya sama kematian lo.”

Diam-diam Shaka beralih menatap salah satu diantara mereka. Bibirnya terasa kelu saat ingin menyuarakan kebenaran.

“Gue kesepian. Jadi gue masih gak diizinkan bahagia bahkan ketika gue udah mati, ya?”

Suasana menjadi hening. Tak ada yang dapat menjawab pertanyaan itu.

“Bisa aja kebahagiaan menanti lo di atas sana.” Dan Hasbi adalah satu-satunya orang yang menjawab. Perasaan pemuda itu melunak saat melihat Shaka yang menyedihkan.

Shaka menunduk dalam. Hingga perlahan tubuhnya memudar seiring dengan sang surya yang mulai naik ke permukaan.

“Shak, tubuh lo—” Nafas Zidan tercekat. Dia kesusahan melanjutkan ucapannya.

“Gak ada yang menginginkan gue untuk tetap tinggal.” Tatapan Shaka beralih menatap mereka dengan sendu. “Maaf dan makasih.”

Belum sempat mereka menjawab, tubuh Shaka sudah menghilang lebih dulu. Meninggalkan keenam pemuda yang menatap kosong kepergiannya.

“Ini beneran cuma buat kita berdua?”

Naura menatap ragu pada berbagai macam makanan yang katanya Rayden siapkan dari jam 4 sore. Saat Naura telah sampai di rooftop, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Rayden yang tengah duduk di atas tikar dengan berbagai macam makanan di depannya.

Meski sempat ragu, Rayden mengangguk sekenanya. Toh, nanti juga tak akan terasa. Makanan pasti akan cepat habis jika telah dinikmati.

“Are you sure?”

“Iyaaaa, Naura. Kita makan aja semuanya, nanti juga pasti habis.”

Mau tak mau, Naura mengangguk sebagai jawaban.

Rayden mengambil satu potong pizza, di arahkan ke hadapan Naura yang kini menatapnya bingung. “Aaaaa,”

Oh. Jadi Rayden hendak menyuapinya, ya? Naura tertawa dalam hati. Ia sempat tak mengerti dengan apa yang Rayden lakukan dan kini pipi gadis itu tiba-tiba memerah merona.

Setelah Naura memakan pizza yang dipegangnya, Rayden tersenyum lembut. Kemudian tanpa jijik, ia memakan pizza itu tepat di bekas gigitan Naura.

Selagi menunggu langit berubah warna menjadi jingga, kedua insan itu terlihat asik bercanda tawa. Sesekali mereka akan saling menyuapi. Suara tawa Rayden mengudara dengan lembut saat ia berhasil mengoles pipi Naura dengan cream cake.

“Rayden!”

Naura memberengut kesal. Dia melempar asal snack yang belum di buka ke arah Rayden, yang sialnya dapat ditangkap dengan sigap oleh laki-laki juli itu.

Melihat Naura yang makin memberengut kesal, lantas Rayden mendekat. Masih dengan sisa tawa di bibir, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. “Maaf, yaa.”

Permintaan maaf itu memang tulus, namun terdengar menyebalkan di telinga Naura.

Melepaskan pelukan itu, Rayden menatap Naura. Diusapnya pipi gadis itu dengan ibu jarinya, membersihkan cream cake yang mengotori wajah cantik Naura.

Mata boba Rayden tak berkutik sedikitpun, saat tatapannya bertemu dengan kedua mata Naura. Gadis itu terlihat semakin cantik saat bias cahaya senja menyorotnya.

Tangan Rayden tergerak untuk menyelipkan rambut Naura ke belakang telinga. Tersenyum simpul, Rayden bergumam. “Cantik.” Pujinya.

Naura bergerak menjauh kemudian mengalihkan pandangannya ke langit. Ia berdeham pelan untuk menormalkan rasa gugupnya. Ditatap seintens itu oleh Rayden membuat jantungnya berdegup sangat kencang dan itu benar-benar tidak aman.

Rayden mengikuti arah pandang Naura, menatap langit yang telah berubah warna menjadi jingga. Suasana tiba-tiba saja terasa canggung seiring dengan tenggelamnya sang Surya. Diam-diam, laki-laki itu menghembuskan nafasnya. Harusnya tadi Rayden tak bertindak terlalu jauh.

Terlalu asik dengan pikirannya, Rayden sampai tak sadar bahwa sedari tadi Naura tengah menatapnya. Tatapan yang menyiratkan rasa kagum. Jika dipikirkan lagi, Rayden itu seperti senja. Dia datang dengan segala pesonanya membuat siapapun yang melihat akan diam-diam berdecak kagum. Namun sedihnya, setiap kali Naura mengagumi senja, sedetik kemudian senja itu akan berlalu begitu saja. Menyisakan rasa hampa yang menyeruak dalam hati.

“Langitnya cantik ya, Ra?”

Tersentak kecil, Naura buru-buru mengalihkan pandangannya. Kembali menatap langit yang menjadi alasan dibalik tatapan kagum Rayden.

“Iyaa, cantik.”

“Tapi tetap kalah kalau dibandingin sama kamu.”

“Hah?”

Rayden beralih menatap Naura. Ia terkekeh geli melihat Naura yang menatapnya bingung. “Kamu lebih cantik.”

“Cheesy.” Ledek Naura. Namun, tak dapat dipungkiri kata-kata itu berhasil menggelitiki perutnya.

Rayden tergelak mendengarnya. Padahal dia serius, Naura memang sangat cantik. Lebih cantik dari langit senja.

Ditengah suasana yang kembali hidup itu, suara notifikasi dari ponsel Naura terdengar jelas. Naura dengan segera meraih ponselnya, tatapannya berubah kala ia membaca pesan singkat itu dalam hati.

Naura, pelakunya.. memang tunangan lo.

Bibirnya tiba-tiba bergetar, ditatapnya Rayden yang tak bergeming sedikitpun dengan perasaan tak karuan. Naura beranjak berdiri, membuat Rayden lantas ikut berdiri.

Rayden menatap Naura tak mengerti. Gadis itu terlihat kalut, matanya melirik kanan-kiri gelisah. Terlihat jelas bahwa Naura tengah bingung harus mulai berbicara darimana.

“Naura?”

“Ray, aku pulang sekarang, ya.” ucap Naura gelagapan.

“Tapi kenapa? Mau aku anterin?” Ditatapnya Naura khawatir, Rayden mendekat. Ia meraih tangan Naura, namun segera gadis itu hempaskan dengan pelan.

“Engga, gak perlu.”

“Maaf ya, aku harus pulang.”

Tanpa menunggu jawaban dan persetujuan dari Rayden, Naura berjalan cepat meninggalkan laki-laki itu. Memasuki lift dengan perasaan gelisah, tatapannya sempat bertemu dengan Rayden, sebelum pintu lift tertutup rapat.

Naura menyalakan ponselnya, jari-jarinya dengan cekatan mengetik sebuah nama di pencarian kontak. Kemudian tanpa babibu, gadis itu menekan icon telepon.

Saat panggilan itu terjawab, Naura langsung berucap. “Temui aku di taman vandares, sekarang juga.”


“Hai, tumben banget ngajak ketemu duluan? Kangen, ya?”

Naura menoleh mendengar suara itu. Ia menatap datar laki-laki di hadapannya yang kini sedang tersenyum. Senyuman yang pernah Naura sukai, senyum manis yang dulu selalu berhasil menenangkan pikirannya.

Dan kini, senyuman itu menjadi salah satu hal yang Naura benci dalam hidupnya. Tangan kanan Naura terangkat, menampar keras pipi laki-laki yang menyandang status sebagai tunangannya itu.

“Ra, kamu apa-apaan sih?” Sentaknya, kaget. Ia memegang pipinya yang terasa perih dan panas.

“Kamu yang apa-apaan?!” Tunjuk Naura, gadis itu menatap laki-laki di hadapannya, marah.

“What do you mean?”

Naura menatap tunangannya dengan nafas yang memburu. “Kamu yang ngasih bekal makan siang itu, kan?”

Dapat Naura lihat, Dia berdecih tak suka. “Iya, itu aku! Kenapa? Salah?”

Masih saja bertanya? Naura menatapnya tak habis pikir. Dengan perasaan emosi dan kecewa, ia berteriak. “KAMU GILA!”

“IYA, RA! AKU GILA!”

“Kedekatan kamu sama Rayden buat aku kehilangan akal, DAN ITU SEMUA SALAH KAMU!”

“KAMU GAK PERLU SEJAUH INI! Kamu hampir bunuh Rayden untuk yang kedua kalinya, kamu ambil kalung peninggalan bunda Renata, kamu teror dia dengan pesan-pesan gila kamu itu! After everything you did to him, you still pretend to be nice? Kamu keterlaluan.” Naura menatap tunangannya kecewa. Bulir-bulir air mata mulai turun membasahi pipinya. “Kamu tahu? berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri dengan bilang bahwa kamu bukan pelakunya. AKU MENCOBA PERCAYA SAMA KAMU BAHKAN MESKI SELURUH BUKTI DAN DUGAAN MENGARAH KE KAMU! Tapi kenyataannya? You are the culprit. Kenyataan itu benar-benar buat aku kecewa.”

“Rayden, rebut kamu dari aku, Ra.” Naura mengalihkan pandangannya. Tanpa mengindahkan suara yang mulai terdengar bergetar itu.

“Dia dengan mudahnya buat kamu berpaling dari aku yang udah bertahun-tahun nemenin kamu, dia mencuri seluruh perhatian kamu, dia mengambil cinta dan kasih sayang kamu. He made you forget all our promises.”

“Kita udah tunangan, tapi dengan seenaknya kamu bawa dia masuk ke dalam cerita kita.”

“Apa yang dia punya dan aku gak punya, Ra?”

“Kamu gak tahu gimana tersiksanya aku selama ini, I'm scared. Aku takut sama Rayden yang bisa kapan aja merenggut kamu dalam hidup aku. Aku mencoba menguatkan diri ketika kamu harus selalu berlari menghampiri Rayden yang membutuhkan kamu. Dalam kesendirian, aku memikirkan gimana jadinya hidup aku kalau seandainya perasaan kamu beralih kepada Rayden. KARENA DEMI TUHAN AKU GAK ADA APA-APANYA DIBANDING DIA!”

Naura menunduk, bahunya bergetar hebat. Ia tak berani menatap tunangannya. Gadis itu mencoba menulikan pendengaran meski pada kenyataannya, suara tangis beserta teriakan dari laki-laki di hadapannya masih dapat terdengar dengan jelas.

“Aku gak akan kayak gini kalo kamu gak melangkah terlalu jauh.” Lirihnya, sendu.

Dengan susah payah, Naura berucap dengan suaranya yang serak. “Kalau jatuh cinta sama aku buat kamu jadi orang jahat, berhenti Juan.”

Merasa tenaganya terkuras habis, Naura berjongkok. Kemudian ia menelungkupkan kepalanya di lipatan lutut. Gadis itu kembali menangis sesenggukan dengan suara yang terdengar pilu.

Juan masih tak berkutik di tempatnya. Ia menatap tunangannya dalam diam. Naura tak pernah terlihat semenyedihkan ini. Tatapan kecewa dan tangisannya membuat hati Juan seperti ditusuk ribuan belati.

Laki-laki itu hendak membantu Naura berdiri, sebelum sebuah bogeman menghantam pipinya dengan keras. Naura yang semula menangis kini mendongak sembari menatap kaget ke arah Juan yang tersungkur ke tanah. Refleks ia beranjak berdiri, tatapannya beralih menatap laki-laki lain yang terlihat marah. Rayden.

Nafas Naura tercekat saat tatapannya bertemu dengan kedua mata tajam Rayden. Tak berbeda jauh dengan Juan yang kini ikut kaget akan kehadiran Rayden. Laki-laki itu memegang sudut bibirnya yang berdarah.

Rayden sempat tertawa sinis. Dia menatap Naura dan Juan secara bergantian. “Gue gak nyangka.” ucapnya sebelum berlalu meninggalkan kedua pasangan itu.

Jadi ini alasannya? Alasan dibalik Naura yang tiba-tiba harus pulang lebih cepat. Tunangan? Juan dan Naura? Rayden berusaha mencari seseorang yang mengganggu hidupnya tanpa sadar bahwa seseorang itu ada tepat di depan matanya. Juan yang Rayden anggap sebagai matahari yang selalu berhasil menerangi keluarganya yang redup, Juan yang sudah Rayden anggap sebagai keluarga sendiri, Juan yang Rayden kagumi karena tingkahnya yang bisa menghadirkan tawa dalam keluarganya. Dan kini Rayden dipukul sangat keras oleh kenyataan yang ada, kenyataan dimana Juan adalah jawaban dari segala kecurigaannya. Sahabatnya sendiri dengan tega membahayakan nyawanya sebanyak dua kali.

Rayden berhenti melangkah. Ia mendongak, kedua mata boba yang tak berhenti mengeluarkan air mata itu menatap langit dengan sendu. Rayden tertawa hambar, tawa yang siapapun pasti tahu bahwa suara tawa itu adalah sebuah kepalsuan. Lelucon macam apa ini, Tuhan?

Naura memasuki cafe dengan tergesa-gesa. Ia menatap sekeliling, mencari di mana tempat Rayden duduk sebelum dibawa ke rumah sakit univ. Gadis itu berjalan menghampiri seorang waiters yang kebetulan berdiri tak jauh di depannya. “Maaf, saya boleh tanya sesuatu?”

Waiters yang semula tengah membersihkan meja, menoleh dan mengangguk sopan. “Boleh. Mau tanya apa ya, Kak?”

“Mba, tahu soal mahasiswa yang tadi siang dibawa ke rumah sakit univ, gak?”

“Oh, yang alergi nya kambuh itu, bukan?”

Naura mengangguk. “Iya, Mba. Sebelumnya dia duduk di meja yang mana, ya? Saya mau ngambil lunch box nya.”

“Sebentar ya, kak. Tadi salah satu pegawai di sini ambil lunch box itu.” Naura kembali mengangguk saat waiters itu izin untuk mengambil lunch box yang dia cari.

Setelah menunggu beberapa menit, waiters itu kembali menghampirinya. Mengulurkan lunch box yang masih tersisa banyak beserta surat kecil di atasnya. “Ini ya, Kak.”

Tanpa berpikir panjang, Naura langsung mengambilnya. Ia sedikit membungkuk sopan sebelum berucap. “Terimakasih banyak, mba.”

Saat waiters itu kembali sibuk dengan pekerjaannya, Naura berjalan menuju salah satu meja di sana untuk duduk. Naura menyimpan lunch box itu di atas meja, kemudian meraih surat kecil yang sedari tadi menarik perhatiannya. Ia membaca dalam hati dan bergumam, “Gue? Lo?” Ini bukan tulisannya. Lagipula, bukankah mereka telah sepakat mengubah gaya bicara menjadi aku-kamu? Jadi, siapa dalang dibalik semua ini?

Satu nama terbesit dalam pikirannya. Naura segera menggelengkan kepala, saat dirasa ia telah keterlaluan. Tidak. Tidak mungkin. Naura mengenal bagaimana karakternya, dia tidak akan sejahat itu. Mungkin?

Suara derasnya hujan yang turun secara tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Gadis itu beralih menatap jalanan. Sial, dia lupa membawa payung. Naura beranjak berdiri, ia memasukkan lunch box dan surat kecil itu ke dalam tas nya. Daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik Naura menghampiri Rayden.

Naura berjalan keluar, berdiri di depan cafe itu sembari menatap hujan yang masih turun dengan deras. “Terobos aja kali, ya?” Gumamnya, bingung.

Suara dering telepon yang masuk, mengalihkan atensi Naura. Ia menatap sebuah nama yang terpampang jelas di layar handphonenya, kemudian mengangkat telepon itu tanpa pikir panjang.

“Kamu di mana?”

“Depan cafe.”

“Ngurus soal Rayden?”

Nada suara yang terkesan ketus itu membuat Naura menghela nafas. “Kamu gak jenguk Rayden?”

“Hujan-hujan begini? Enggak, lah. Lagian bang Artha juga ngelarang, katanya jenguk nanti aja pas Rayden udah di apartemen.”

Naura mengangguk sebagai jawaban. Meskipun ia tahu tunangannya itu tak dapat melihatnya.

“Jangan nekat mau nerobos hujan, nanti sakit.”

“Aku harus jenguk Rayden dan jelasin semuanya.”

Hening beberapa saat. Sebelum Naura kembali bersuara, “Bukan kamu, kan?”

“Kamu nuduh aku?”

“Bukan kamu, kan?” Ulang Naura penuh penekanan.

Bukannya menjawab, sosok di seberang sana malah mengalihkan topik. “Sebentar lagi orang suruhan aku datang ke sana buat nganterin payung sama jaket aku. Jadi kamu jangan kemana-mana.”

Setelahnya, panggilan diputuskan secara sepihak. Naura menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sepertinya, keputusan untuk memberi tunangannya kesempatan kedua adalah keputusan yang salah.

15 Menit setelah itu, seorang pria paruh baya berlari menghampirinya. “Dengan Naura?”

“Iya, saya Naura.”

Pria itu mengulurkan jaket dan payung ke hadapan Naura. “Ini titipan dari Tuan—”

“Iya saya tahu.” Naura menyela sembari menerima kedua barang itu. Ia menatap pria yang seluruh tubuhnya basah kuyup itu sembari tersenyum singkat. “Bapak boleh pergi, terimakasih sebelumnya.”

“Baik non, sama-sama. Saya pergi dulu.”

Setelah pria itu tak terlihat lagi di hadapannya, Naura langsung memakai jaket itu. Jaket kesayangan sang tunangan yang sudah sering ia pakai. Kemudian gadis itu membuka payung lipat bermotif bunga-bunga yang dipegangnya.

Naura segera berlari menuju rumah sakit univ saat pesan masuk dari Widya memberitahukan bahwa Rayden telah siuman. Dalam hati gadis itu berdoa, semoga Rayden bisa mempercayainya.

Malam ini rumah Rayden kembali ramai. Semua penghuninya berkumpul di halaman belakang rumah. Ternyata sepasang suami istri yang menjadi pemeran utama itu, memilih mengadakan barbeque party.

Sang tuan rumah dengan istrinya terlihat sibuk memanggang daging, sedangkan Rayden dan Naura duduk berdua di gazebo. Menikmati langit malam yang terlihat lebih indah dari biasanya. Lain lagi dengan Artha dan kedua teman Rayden, mereka terlihat sibuk memakan daging yang baru saja matang.

“Bang Artha! Itu punya gue!” Juan berseru tak terima saat dengan seenaknya Artha mencomot daging yang berada di piringnya.

Mengedikkan bahunya acuh, Artha sama sekali tak terusik dengan teriakan kesal dari Juan. Sedangkan Dion menatap Juan heran, “Lo tuh gak ada kenyang-kenyangnya, ya?”

“Udah habis dua porsi, loh.” ucap Dion tak habis pikir. Padahal sebelum datang ke sini, temannya itu sudah menghabiskan satu porsi nasi goreng. Dan kini Juan masih sanggup makan? Dalam hati, Dion bertanya-tanya terbuat dari apa perut Juan sehingga bisa menampung makanan sebanyak itu.

Juan memberengut kesal membuat Artha tertawa tak jelas. Putra sulung dari Ardan itu melempar Juan dengan snack pilus. “Kayak bocah, lo!”

Semakin menjadi lah rasa kesal Juan terhadap Artha. Lantas laki-laki itu segera mengejar Artha yang sudah ancang-ancang ingin kabur. Artha berteriak ngeri saat Juan terus mengejar, membuat Ardan dan Mela tertawa melihatnya. Ada-ada saja tingkah mereka.

Rayden yang sedari tadi memperhatikan hanya tersenyum tipis. Juan dengan segala tingkah konyolnya. Rayden sangat berterimakasih kepada Juan yang selalu berhasil menghidupkan suasana. Menghadirkan tawa dalam keluarganya.

“Anak-anak, ayo makan.” Seru Mela seraya menyusun makanan di atas meja.

“Hei, Juan, Artha, ayo makan dulu.”

Mendengar perintah nyonya rumah, mereka langsung menghampiri. Juan dan Artha bahkan kini sudah duduk anteng bersebelahan. Setelah dirasa semua orang telah duduk, Mela kembali bersuara. “Selamat makan. Jangan malu-malu buat nambah.”

“Naura, makan yang banyak, ya.” ucap Mela saat tatapannya bertemu dengan Naura.

Naura tersenyum sopan. “Iya, Tante. Terimakasih.”


Makan-makan telah selesai setengah jam yang lalu. Kini Artha, Naura, Rayden, beserta kedua temannya sedang duduk melingkar di gazebo. Satu botol kosong berada di tengah-tengah mereka. Atas ide Artha, saat ini mereka akan melakukan permainan yang cukup populer, Truth or Dare.

“Gue puter, ya.” ucap Artha sebelum memutar botol kosong itu. Mereka menahan nafas seiring dengan berputarnya botol, berharap cemas dan berdoa dalam hati semoga botol itu mengarah pada orang lain.

Botol berhenti tepat mengarah ke Rayden. Mereka menghela nafas lega, berbanding dengan Rayden yang tiba-tiba saja merasa gugup. Artha menyeringai menatap sang adik, “Truth or Dare?”

Rayden menatap Artha, malas. “Truth.”

“Biar gue yang nanya.” ucap Juan.

“Jangan aneh-aneh!”

“Iya, pak Rayden.” Sahut Juan malas.

“Lo lagi suka sama seseorang, gak?”

Pertanyaan itu lantas menciptakan hening. Mereka menunggu jawaban Rayden dalam diam. Sedangkan yang ditanya bingung harus menjawab bagaimana.

“Ayo, jawab jujur.” Kata Artha.

Meski ragu, Rayden tetap menjawab jujur. “Iya.”

Mendengarnya Artha berseru antusias. “Siapa? Kasih tahu gue!”

“Lo udah kenal sama orangnya.” Jawab Rayden. Laki-laki itu sesekali melirik Naura yang mencoba acuh.

Artha mengernyit heran. Pikirannya berkecamuk, memikirkan siapa perempuan yang Rayden cintai. Mereka memilih melanjutkan permainan, tanpa menyadari sebuah pasang mata yang tiba-tiba memberi tatapan tak suka dengan tangan yang mengepal di balik saku hoodienya.