Dion berdiri di balik jendela kamarnya, mengintip keadaan ramai yang terjadi di bawah sana. Dia memperhatikan bagaimana para wartawan berjalan berdesak-desakan saat sang papa dibawa oleh dua orang polisi hingga masuk ke dalam mobil.
Suara bising yang saling bersahutan di bawah sana bahkan tak dapat didengar dengan jelas. Dion tak dapat mencerna semuanya. Masih jelas di ingatan bagaimana papanya yang berteriak menyalahkan dia pagi tadi.
Terlalu sibuk dengan pikirannya, pemuda itu sampai terlonjak kaget saat seseorang menarik tangannya agar berbalik dan dalam sepersekian detik rasa perih dia rasakan di pipi kirinya.
“Kamu yang lakuin semua ini?” Dion mendongak mendengar suara itu. Menatap sang mama yang baru saja menamparnya.
“Kita udah sepakat untuk melupakan semuanya.” Anya mencengkeram erat hoodie yang dipakai anaknya, “kita udah sepakat gak akan mengungkit masalah ini. TAPI KENAPA KAMU LAPORIN PAPA KAMU SENDIRI, DIONDRA?”
“Kamu pikir mama senang sekarang? mama sedang dalam tahap melupakan semuanya. Kamu gak tahu sesakit apa perasaan mama saat tahu bahwa papa kamu melakukan hal yang gak seharusnya dan dengan ngelakuin ini kamu cuma nambah rasa sakit mama.” Anya memalingkan wajahnya. Dadanya sesak bukan main. “Apa yang kurang selama ini? papa selalu ngasih apa yang kamu mau, kami izinkan kamu untuk tetap berteman dengan Rayden. Kami bebaskan kamu untuk melakukan apapun yang terbaik untuk Rayden. Setelah semuanya, bisa-bisanya kamu tetap melaporkan papa kamu?”
Dion tak berkutik sedikitpun. Pemuda itu hanya menunduk, bibirnya kelu hanya untuk menjawab. Dia biarkan sang mama menumpahkan segalanya. Tanpa berniat menyela atau bahkan menentang.
“Ini pertama kalinya, kamu buat mama menyesal pernah melahirkan kamu.” Diam-diam tangan Dion mengepal kuat di sisi tubuhnya.
Hingga saat Anya kembali berucap, “Mama kecewa sama kamu, Diondra.” kemudian berlalu pergi ke luar kamarnya, detik itu juga Dion jatuh bersimpuh.
Dia menekuk kedua kakinya dengan punggung yang bersandar pada jendela kamar. Perkataan sang mama benar-benar berhasil menyakiti relung hatinya. Terdengar berulang-ulang hingga tanpa sadar Dion menutup kedua telinganya.
Gila ya, kamu? kamu laporin papa?
Papa pastikan kamu akan menyesal, Diondra.
Ini pertama kalinya, kamu buat mama menyesal pernah melahirkan kamu.
Mama kecewa sama kamu, Diondra.
Dion menggelengkan kepalanya. Menutup kedua telinganya kuat-kuat. Dion bahkan tak sadar sejak kapan air mata turun membasahi kedua pipinya. Pemuda itu menutup kedua matanya. Hingga sebuah kejadian kembali datang dalam pikiran.
“Kamu mau pulang sekarang?” Tanya seseorang kepada Dion yang sedang berdiri di ambang pintu.
“Kok cepet banget, sih? ini masih pagi tahu!” Suara yang terdengar lebih lembut ikut menyahut.
Dion mengangguk sekenanya. “Hari ini mama pulang, aku sama papa sebentar lagi mau jemput mama di bandara.”
“Mainnya kita lanjut nanti ya, Juan, Naura.” Lanjutnya sembari menatap mereka bergantian.
Meski sedikit tak rela karena mereka baru saja main satu jam setelah bangun, Juan pada akhirnya mengangguk. “Yaudah, kamu hati-hati ya, Ndra.”
“Pokoknya nanti kamu harus nginep lagi di rumah Juan! aku juga nanti izin sama mami papi buat nginep di sini lagi. Nanti mainnya harus lebih lama, oke?” Dion beralih menatap teman perempuannya. Dia melangkah mendekat, hanya untuk mengusap surai Naura yang mulai memanjang. “Iyaa, Naura.”
Diperlakukan seperti itu lantas Naura hanya dapat tersenyum manis. Gadis itu beralih menatap supir pribadi keluarga Juan. “Paman, tolong anterin temen Naura dengan selamat, ya!”
“Iya siap, Non.”
“Aku pulang dulu, bye bye!” Dion melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil yang sering dipakai oleh papa Juan.
“Bye bye, Diondra!” Seru Naura lantang bersamaan dengan mobil yang mulai melaju.
“Apa yang kamu lakukan, Dewa?”
Baru saja hendak masuk rumah, Dion langsung disapa oleh suara itu. Dia beringsut bersembunyi di balik kursi ruang tamu. Sedikit mengintip untuk melihat apa yang terjadi.
“Kenapa bunda ada di sini?” Gumamnya sangat pelan. Yang dimaksud bunda adalah Renata. Ibu kandung dari sahabatnya sendiri, Rayden. Dion memang sangat mengenal baik Renata. Ibu dari sahabatnya itu telah melakukan banyak hal untuknya maka tak heran jika Dion menganggapnya sebagai bunda sendiri.
“Ta, saya bisa jelasin.” Dewa melangkah maju, berusaha mendekati Renata yang terus bergerak mundur dengan tubuh yang bergetar.
“Kemarin saya terpengaruh alkohol—”
“Persetan dengan alkohol, kamu sudah melecehkan aku!” Renata terisak pelan. “Aku meminta kamu untuk berhenti, Dewa.”
Meski belum dewasa, Dion masih dapat mengerti apa yang baru saja diucapkan oleh bunda Renata.
“Maafin saya, saya beneran gak bermaksud.” Dewa terus melakukan pembelaan dengan suara yang terbata-bata. Dan hal itu membuat Renata muak.
“Suamiku harus tahu sebejat apa sahabatnya ini.” Mendengar perkataan Renata lantas tanpa sadar membuat Dewa mengeraskan rahangnya.
“Kamu mau kasih tahu Ardan soal ini?”
“Iya!” Jawab Renata cepat. “dia harus tahu.”
“Saya gak sengaja, Renata.”
“Berhenti mencari pembenaran!” Renata menyentak keras, “harusnya kamu berhenti ketika aku meminta, Dewa.” Dengan gemetar tangannya berusaha menghubungi sang suami, “aku tetap akan melaporkan kamu.”
Dewa sempat berdecih pelan. “Iya, silahkan. Silahkan mengadu kepada suami kamu itu. Karena bukan cuma saya yang akan rugi tapi kamu juga yang akan paling dirugikan.”
Mendengar itu Renata mengerutkan keningnya, dia hendak menjawab sebelum Dewa kembali berucap, “Kamu hanya akan menjadikan diri kamu kotor di hadapan suami kamu sendiri.”
Renata menatap Dewa tak habis pikir. “KAMU YANG BERBUAT KENAPA AKU YANG KOTOR?” Teriaknya tak terima. Pandangannya kembali memburam, sekali saja berkedip maka tanpa dapat dicegah air mata akan kembali turun.
“Renata,” Dewa meraih kedua tangan Renata. “kita selesaikan semuanya baik-baik, ya?” Suaranya terdengar melembut. “kita rahasiakan semuanya, anggap saja kejadian semalam cuma mimpi buruk.”
“Cuma ini satu-satunya cara agar kita tetap aman.” kata Dewa, laki-laki dewasa itu mencoba mengajak istri dari sahabatnya untuk bekerja sama. Dia bisa celaka jika Renata tetap nekat melaporkan perbuatannya. Dewa tidak mau kehilangan Anya hanya karena kesalahan semalam.
“Segampang itu?” Lirih Renata. Ditatapnya Dewa dengan mata yang memerah, Renata menghempaskan tangan Dewa. “kamu pikir aku wanita apa? gimana bisa aku melupakan kejadian semalam dalam waktu sekejap?”
Dewa menghela nafas, ternyata Renata tak semudah itu untuk diajak kerjasama. “Tadinya aku cuma mau kasih tahu semuanya sama Ardan, tapi aku berubah pikiran. Melaporkan kamu kepada polisi sepertinya keputusan yang lebih tepat.”
Perkataan Renata praktis membuat Dewa panik. Dia bergerak maju saat Renata kembali mundur menjauhinya, “Renata, kamu gak perlu sejauh ini.” ucapnya bersamaan dengan Renata yang terlihat mengotak-atik ponselnya.
Dewa mengusap rambutnya frustasi. Pergerakannya tiba-tiba terhenti saat dia menyadari sesuatu. Diam-diam tangannya bergerak mengambil sesuatu yang ada di sakunya. Kemudian dia beralih menatap Renata.
Di sisi lain, Dion yang menyaksikan semua itu menutup kuat mulutnya. Berusaha tak mengeluarkan suara sedikitpun meski dia sendiri ingin berteriak dan menghentikan papanya yang bisa saja membahayakan bunda Renata.
Matanya memperhatikan bagaimana tangan Dewa yang dengan lihai memainkan pisau lipat di belakang tubuhnya. Dion melupakan satu hal. Papanya itu selalu membawa pisau lipat di sakunya untuk berjaga-jaga.
“Renata,”
“Jangan mendekat,” Renata beringsut mundur saat Dewa berjalan mendekatinya. “jangan mendekat atau aku telpon Ardan sekarang.”
“Kamu beneran mau laporin saya?”
Renata bergerak gelisah. Suara yang terkesan datar itu sedikit mengusiknya, ditambah lagi tatapan yang Dewa berikan membuat Renata takut. “K-kamu mau apa?” Tanyanya saat menyadari bahwa ada sebuah pisau lipat di tangan Dewa.
Saat itu Dion berharap bahwa dia buta. Dia tak dapat berkutik sedikitpun ketika matanya dengan jelas melihat Renata yang terus memberontak ketika Dewa mengangkat pisaunya. Dion berharap dia tuli saat telinganya mendengar dengan jelas teriakan dan jeritan kesakitan yang Renata keluarkan. Anak itu menggelengkan kepalanya, dengan mata kepalanya sendiri dia melihat bagaimana papanya dengan kejam menikam bunda Renata hingga tewas. Sosok wanita yang sudah dia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.
Air mata berlomba-lomba turun membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, apa yang baru saja dia lihat? Dion berharap ini hanyalah mimpi buruknya. Siapapun tolong bangunkan dia.
Kenapa papanya membunuh bunda Renata? apa yang harus dia lakukan? mama nya pasti sudah menunggu di bandara sejak tadi, namun kenapa dia malah ada di sini? menjadi satu-satunya saksi pembunuhan di mana sang papa yang menjadi pelaku.
Pikirannya berkecamuk. Dion menggelengkan kepalanya, keringat bahkan terus mengalir di pelipisnya. Di balik kursi anak itu meringkuk ketakutan. Hingga tak lama setelah itu sebuah suara berhasil menyadarkannya.
“Keluar.”
Dion menunduk dalam. Berdoa dalam hati semoga papanya hanya sedang berbicara sendiri.
“Keluar sebelum papa berubah pikiran.”
Apa papanya mengetahui dia ada di sini? menyaksikan semuanya? Dion menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya.
“KELUAR, DIONDRA!”
Punggung kecil itu bergetar hebat mendengar suara teriakan Dewa. Jika terus bersembunyi maka segalanya bisa lebih runyam, maka dengan perasaan takut bukan main Dion perlahan berdiri. Dia bahkan tak berani menatap sang papa.
Dion berjalan pelan menghampiri Dewa sembari menunduk dalam. Di tempatnya Dewa menghela nafas kasar sebelum berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang anak.
“Diondra.” Tangan yang kotor karena darah itu bergerak mengusap pipi Dion.
“Kamu gak lihat apa-apa. Yang tadi cuma mimpi buruk kamu, oke?” Dewa berusaha memberi pengertian kepada Dion dengan suaranya yang ia buat selembut mungkin.
Dion mengernyit sembari berusaha menghentikan tangan Dewa yang tengah mengusap pipinya. Dia tak suka disentuh oleh tangan kotor itu.
“Dion, kamu dengar apa kata papa?”
Susah payah Dion beralih menatap Dewa. “Papa,” panggilnya lirih. Dia hendak kembali bersuara sebelum Dewa menyela, “Jangan kasih tahu mama soal ini, jangan kasih tahu siapapun. Papa akan mengurus semuanya, jadi kamu cuma perlu tutup mulut.”
“Apa yang papa lakukan?”
“Ssttt.” Dewa memberi isyarat agar anaknya diam.
Ditatapnya sang anak dengan lekat, Dewa berkata penuh penekanan. “Diondra, seandainya kamu berani melaporkan hal ini papa gak akan segan-segan buat hidup kamu menderita. Papa akan mengirim kamu ke luar negeri untuk belajar bisnis dan gak akan papa biarkan kamu bertemu mama bahkan meski sedetik.”
Diancam seperti itu lantas Dion menggeleng ribut, “Papa jangan kirim Dion ke luar negeri, Dion gak mau pisah sama mama.”
“Karena itu kamu harus rahasiakan semua ini.”
“Kamu mengerti, Dion?”
Tak ada seorang anak yang ingin dipisahkan dengan ibu kandungnya sendiri. Dion tak ingin belajar bisnis, dia tak ingin jauh dari sang mama. Senyum tercetak jelas di bibir Dewa saat melihat Dion mengangguk pasrah. Pada akhirnya, saat itu Dewa berhasil membuat anak semata wayangnya menutup mulut hingga bertahun-tahun.
“Bukan Dion.”
“Bukan Dion yang ngelaporin papa, Ma.”
“Bukan.”
Anak yang menjadi saksi pembunuhan itu telah beranjak dewasa. Tak banyak yang berubah, semuanya masih tetap sama. Termasuk ketakutan yang dirasakan anak itu.
Dion mengusap kasar kedua pipinya. Dia menggeram marah, tangannya kemudian meraih ponsel yang ada di atas nakas.
Dia tahu jelas Juan ada di balik semua ini. Maka dengan perasaan kalut, kedua ibu jarinya bergerak lihai di atas layar.
Sialan.
Gue tahu ini ulah lo.