Gudang

Pagi itu mereka benar-benar datang ke gudang. Gelap, kotor, dan kumuh adalah pemandangan pertama yang mereka lihat saat membuka pintu. Ruangan ini terlihat menyeramkan.

Mereka sibuk mengobrak-abrik barang yang ada di gudang, mencari di mana tumpukan koran yang Pak Jaksa maksud tempo lalu.

Zidan sesekali melirik Shaka yang pandangannya terlihat kosong sejak mereka memutuskan untuk datang ke sini. Pemuda itu bahkan tak membantu mencari koran, hanya sekedar menatap sekeliling gudang dalam diam.

“Di sini korannya.” Suara Cakra mengalihkan atensi yang lain. Dia berjongkok untuk mengambil tumpukan koran yang di sembunyikan di bawah meja yang letaknya paling ujung.

Tumpukan koran yang cukup banyak, maka dengan begitu Hasbi mengambil sebagian dari koran itu. “Sisanya kalian baca bareng-bareng.” ucap Hasbi saat melihat tatapan bingung yang mereka berikan.

Mereka kemudian membaca koran itu satu-persatu, tanpa menyadari Shaka yang mulai melangkah mundur. Pemuda itu terlihat gelisah, lalu tersentak kaget saat Hasbi menjatuhkan koran yang baru saja dia baca.

Perlahan Hasbi mendongak menatap Shaka. “L-lo..”

Raihan berjalan mendekat. Dia mengambil koran usang yang Hasbi jatuhkan itu. Matanya bergulir membaca sederet kalimat panjang yang ada di sana. Dengan suara yang bergetar dia membaca ulang, “Seorang siswa tewas akibat di dorong dari atas gedung,”

Yang lain segera memfokuskan perhatiannya kepada Raihan, “Naufal Shaka Danendra.”

Saat namanya disebutkan, Shaka kembali melangkah mundur. Berbeda dengan Madava, Cakra, dan Zidan yang terdiam membeku, Raihan mencengkram erat koran itu. Dia melangkah mendekati Shaka kemudian melempar koran yang dipegangnya tepat ke wajah Shaka. “Apa ini?”

Shaka menunduk dalam, tak berniat menjawab sepatah katapun. “APA INI, SHAKA??!” Teriakan Raihan menggema di antara suasana gudang yang hening itu.

“Jadi selama ini lo pelaku di balik semua kejadian aneh yang kita alamin? Lo yang menyerupai Arkana di balkon saat itu, lo juga yang menyerupai Madava waktu di kamar mandi sama Cakra, dan lo penyebab dibalik mimpi buruk Hasbi dan Zidan. Jawab gue, MOTIF LO NGELAKUIN SEMUA INI ITU APA?” Raihan terus menyerbu Shaka dengan pertanyaan dan pernyataannya. “Dimana Arkana? Gue tahu lo yang sembunyiin dia.”

Hasbi berjalan menghampiri Shaka. Dicengkeramnya kerah baju pemuda itu dengan penuh emosi. “Kenapa lo ngelakuin semua ini? Punya salah apa kita sampai lo buat kita ketakutan dengan hal aneh yang kita alamin akhir-akhir ini.” Shaka memejamkan matanya saat Hasbi berteriak, “KENAPA LO BISA ADA DI ANTARA KITA?”

“LO TULI? JAWAB GUE, ANJING!”

Shaka menghempaskan Hasbi dengan seluruh tenaganya, membuat pemuda tan itu tersungkur ke bawah.

“Shaka!” Madava yang sedari tadi diam menyentak keras. Dia beralih menatap Hasbi yang kini dibantu oleh Cakra dan Zidan.

“Mau lo apa?” Tanya Madava saat tatapannya kembali bertemu dengan Shaka.

“Gak adil rasanya kalo hidup kalian tentram tanpa ada masalah, berbeda dengan gue yang selalu merasa ketakutan bahkan di hari kematian gue!” Shaka mulai bersuara. Pemuda itu menatap mereka satu-persatu. “Gue tahu gue salah, tapi kurang baik apa gue sama kalian selama kita tinggal bareng?”

“Gue cuma mau punya temen.”

“Tapi lo gak seharusnya ada di sini, terlepas dari apapun yang lo alamin semasa hidup. Kita gak ada sangkut pautnya sama kematian lo, Shaka!” Raihan menyela. Dadanya naik turun karena emosi.

“Gue gak pernah minta supaya kalian bisa lihat gue, gue gak pernah berharap kalian menyadari kehadiran gue. GUE GAK NGELAKUIN APAPUN KARENA KALIAN SENDIRI YANG DATANG KE UNIT 116.”

“Gue gak mungkin tiba-tiba bilang kalo gue bukan manusia saat pertama kali kita kenalan.”

“Dan semua itu juga bukan kemauan kita.” ucap Cakra menengahi.

Suasana menjadi hening sebelum Zidan bersuara, “Tolong kembaliin Arkana dan pergi dari sini, Shaka.”

Detik itu juga suara seseorang yang terjatuh terdengar sangat nyaring. Arkana merintih kesakitan memegang perutnya. Badannya terasa remuk karena baru saja dilempar hingga ke sini. Pelipis pemuda itu berdarah akibat terbentur meja yang ada di sampingnya.

“Arkana!” Teriak mereka panik. Raihan yang lebih dulu menghampiri, dia membantu Arkana berdiri.

Madava memperhatikan penampilan Arkana yang sangat kacau. Dia beralih menatap Shaka. “Apa yang lo lakuin? Lo mau bunuh Arkana, Shaka??!”

Shaka menggeleng pelan. “Gue bukan pembunuh dan gak akan pernah jadi pembunuh.”

“Persetan dengan pembunuh, lo udah buat temen gue terluka.” Satu bogeman Hasbi berikan pada pipi Shaka.

Madava mendekat mencoba melerai. Dia menarik Hasbi agar mundur, “Jangan pake kekerasan, Bi.”

“Kenapa jangan? Mau gue tonjok berkali-kali pun dia gak akan mati, karena dia bukan manusia!” Hasbi menghempaskan tangan Madava.

Menghela nafas panjang, Madava menatap yang lain satu-persatu. “Tolong hargai gue sebagai yang tertua di sini.”

Kemudian pemuda itu melangkah maju dan berhenti tepat di hadapan Shaka. “Gue gak mau masalah ini makin melebar kemana-mana. Jangan sampai pihak yang gak bersangkutan tahu soal masalah ini.”

“Gue kasih lo kesempatan buat kabur. Pergi dari sini, Shaka.” ucap Madava membuat Shaka menatapnya sendu.

“Kita gak bisa temenan aja, ya?”

Hasbi menyahut. “Gue gak mau temenan sama setan.”

“Hasbi.” Tegur Madava.

“Gak bisa, ini bukan tempat lo.” Raihan ikut menyahut.

Shaka melakukan pembelaan. “Kehadiran gue gak merugikan, kenapa gue harus pergi?”

“Merugikan.” Arkana menyela. Pemuda itu sesekali meringis saat rasa sakit dan ngilu kembali mendera.

“Kehadiran lo merugikan kita semua.” kata Madava. “Jadi tolong kembali ke dunia lo, Shak. Gue turut sedih saat tahu ternyata lo korban dari pembunuhan. Tapi sekali lagi, kita berenam gak ada sangkut pautnya sama kematian lo.”

Diam-diam Shaka beralih menatap salah satu diantara mereka. Bibirnya terasa kelu saat ingin menyuarakan kebenaran.

“Gue kesepian. Jadi gue masih gak diizinkan bahagia bahkan ketika gue udah mati, ya?”

Suasana menjadi hening. Tak ada yang dapat menjawab pertanyaan itu.

“Bisa aja kebahagiaan menanti lo di atas sana.” Dan Hasbi adalah satu-satunya orang yang menjawab. Perasaan pemuda itu melunak saat melihat Shaka yang menyedihkan.

Shaka menunduk dalam. Hingga perlahan tubuhnya memudar seiring dengan sang surya yang mulai naik ke permukaan.

“Shak, tubuh lo—” Nafas Zidan tercekat. Dia kesusahan melanjutkan ucapannya.

“Gak ada yang menginginkan gue untuk tetap tinggal.” Tatapan Shaka beralih menatap mereka dengan sendu. “Maaf dan makasih.”

Belum sempat mereka menjawab, tubuh Shaka sudah menghilang lebih dulu. Meninggalkan keenam pemuda yang menatap kosong kepergiannya.