Lelucon
“Ini beneran cuma buat kita berdua?”
Naura menatap ragu pada berbagai macam makanan yang katanya Rayden siapkan dari jam 4 sore. Saat Naura telah sampai di rooftop, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Rayden yang tengah duduk di atas tikar dengan berbagai macam makanan di depannya.
Meski sempat ragu, Rayden mengangguk sekenanya. Toh, nanti juga tak akan terasa. Makanan pasti akan cepat habis jika telah dinikmati.
“Are you sure?”
“Iyaaaa, Naura. Kita makan aja semuanya, nanti juga pasti habis.”
Mau tak mau, Naura mengangguk sebagai jawaban.
Rayden mengambil satu potong pizza, di arahkan ke hadapan Naura yang kini menatapnya bingung. “Aaaaa,”
Oh. Jadi Rayden hendak menyuapinya, ya? Naura tertawa dalam hati. Ia sempat tak mengerti dengan apa yang Rayden lakukan dan kini pipi gadis itu tiba-tiba memerah merona.
Setelah Naura memakan pizza yang dipegangnya, Rayden tersenyum lembut. Kemudian tanpa jijik, ia memakan pizza itu tepat di bekas gigitan Naura.
Selagi menunggu langit berubah warna menjadi jingga, kedua insan itu terlihat asik bercanda tawa. Sesekali mereka akan saling menyuapi. Suara tawa Rayden mengudara dengan lembut saat ia berhasil mengoles pipi Naura dengan cream cake.
“Rayden!”
Naura memberengut kesal. Dia melempar asal snack yang belum di buka ke arah Rayden, yang sialnya dapat ditangkap dengan sigap oleh laki-laki juli itu.
Melihat Naura yang makin memberengut kesal, lantas Rayden mendekat. Masih dengan sisa tawa di bibir, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. “Maaf, yaa.”
Permintaan maaf itu memang tulus, namun terdengar menyebalkan di telinga Naura.
Melepaskan pelukan itu, Rayden menatap Naura. Diusapnya pipi gadis itu dengan ibu jarinya, membersihkan cream cake yang mengotori wajah cantik Naura.
Mata boba Rayden tak berkutik sedikitpun, saat tatapannya bertemu dengan kedua mata Naura. Gadis itu terlihat semakin cantik saat bias cahaya senja menyorotnya.
Tangan Rayden tergerak untuk menyelipkan rambut Naura ke belakang telinga. Tersenyum simpul, Rayden bergumam. “Cantik.” Pujinya.
Naura bergerak menjauh kemudian mengalihkan pandangannya ke langit. Ia berdeham pelan untuk menormalkan rasa gugupnya. Ditatap seintens itu oleh Rayden membuat jantungnya berdegup sangat kencang dan itu benar-benar tidak aman.
Rayden mengikuti arah pandang Naura, menatap langit yang telah berubah warna menjadi jingga. Suasana tiba-tiba saja terasa canggung seiring dengan tenggelamnya sang Surya. Diam-diam, laki-laki itu menghembuskan nafasnya. Harusnya tadi Rayden tak bertindak terlalu jauh.
Terlalu asik dengan pikirannya, Rayden sampai tak sadar bahwa sedari tadi Naura tengah menatapnya. Tatapan yang menyiratkan rasa kagum. Jika dipikirkan lagi, Rayden itu seperti senja. Dia datang dengan segala pesonanya membuat siapapun yang melihat akan diam-diam berdecak kagum. Namun sedihnya, setiap kali Naura mengagumi senja, sedetik kemudian senja itu akan berlalu begitu saja. Menyisakan rasa hampa yang menyeruak dalam hati.
“Langitnya cantik ya, Ra?”
Tersentak kecil, Naura buru-buru mengalihkan pandangannya. Kembali menatap langit yang menjadi alasan dibalik tatapan kagum Rayden.
“Iyaa, cantik.”
“Tapi tetap kalah kalau dibandingin sama kamu.”
“Hah?”
Rayden beralih menatap Naura. Ia terkekeh geli melihat Naura yang menatapnya bingung. “Kamu lebih cantik.”
“Cheesy.” Ledek Naura. Namun, tak dapat dipungkiri kata-kata itu berhasil menggelitiki perutnya.
Rayden tergelak mendengarnya. Padahal dia serius, Naura memang sangat cantik. Lebih cantik dari langit senja.
Ditengah suasana yang kembali hidup itu, suara notifikasi dari ponsel Naura terdengar jelas. Naura dengan segera meraih ponselnya, tatapannya berubah kala ia membaca pesan singkat itu dalam hati.
Naura, pelakunya.. memang tunangan lo.
Bibirnya tiba-tiba bergetar, ditatapnya Rayden yang tak bergeming sedikitpun dengan perasaan tak karuan. Naura beranjak berdiri, membuat Rayden lantas ikut berdiri.
Rayden menatap Naura tak mengerti. Gadis itu terlihat kalut, matanya melirik kanan-kiri gelisah. Terlihat jelas bahwa Naura tengah bingung harus mulai berbicara darimana.
“Naura?”
“Ray, aku pulang sekarang, ya.” ucap Naura gelagapan.
“Tapi kenapa? Mau aku anterin?” Ditatapnya Naura khawatir, Rayden mendekat. Ia meraih tangan Naura, namun segera gadis itu hempaskan dengan pelan.
“Engga, gak perlu.”
“Maaf ya, aku harus pulang.”
Tanpa menunggu jawaban dan persetujuan dari Rayden, Naura berjalan cepat meninggalkan laki-laki itu. Memasuki lift dengan perasaan gelisah, tatapannya sempat bertemu dengan Rayden, sebelum pintu lift tertutup rapat.
Naura menyalakan ponselnya, jari-jarinya dengan cekatan mengetik sebuah nama di pencarian kontak. Kemudian tanpa babibu, gadis itu menekan icon telepon.
Saat panggilan itu terjawab, Naura langsung berucap. “Temui aku di taman vandares, sekarang juga.”
“Hai, tumben banget ngajak ketemu duluan? Kangen, ya?”
Naura menoleh mendengar suara itu. Ia menatap datar laki-laki di hadapannya yang kini sedang tersenyum. Senyuman yang pernah Naura sukai, senyum manis yang dulu selalu berhasil menenangkan pikirannya.
Dan kini, senyuman itu menjadi salah satu hal yang Naura benci dalam hidupnya. Tangan kanan Naura terangkat, menampar keras pipi laki-laki yang menyandang status sebagai tunangannya itu.
“Ra, kamu apa-apaan sih?” Sentaknya, kaget. Ia memegang pipinya yang terasa perih dan panas.
“Kamu yang apa-apaan?!” Tunjuk Naura, gadis itu menatap laki-laki di hadapannya, marah.
“What do you mean?”
Naura menatap tunangannya dengan nafas yang memburu. “Kamu yang ngasih bekal makan siang itu, kan?”
Dapat Naura lihat, Dia berdecih tak suka. “Iya, itu aku! Kenapa? Salah?”
Masih saja bertanya? Naura menatapnya tak habis pikir. Dengan perasaan emosi dan kecewa, ia berteriak. “KAMU GILA!”
“IYA, RA! AKU GILA!”
“Kedekatan kamu sama Rayden buat aku kehilangan akal, DAN ITU SEMUA SALAH KAMU!”
“KAMU GAK PERLU SEJAUH INI! Kamu hampir bunuh Rayden untuk yang kedua kalinya, kamu ambil kalung peninggalan bunda Renata, kamu teror dia dengan pesan-pesan gila kamu itu! After everything you did to him, you still pretend to be nice? Kamu keterlaluan.” Naura menatap tunangannya kecewa. Bulir-bulir air mata mulai turun membasahi pipinya. “Kamu tahu? berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri dengan bilang bahwa kamu bukan pelakunya. AKU MENCOBA PERCAYA SAMA KAMU BAHKAN MESKI SELURUH BUKTI DAN DUGAAN MENGARAH KE KAMU! Tapi kenyataannya? You are the culprit. Kenyataan itu benar-benar buat aku kecewa.”
“Rayden, rebut kamu dari aku, Ra.” Naura mengalihkan pandangannya. Tanpa mengindahkan suara yang mulai terdengar bergetar itu.
“Dia dengan mudahnya buat kamu berpaling dari aku yang udah bertahun-tahun nemenin kamu, dia mencuri seluruh perhatian kamu, dia mengambil cinta dan kasih sayang kamu. He made you forget all our promises.”
“Kita udah tunangan, tapi dengan seenaknya kamu bawa dia masuk ke dalam cerita kita.”
“Apa yang dia punya dan aku gak punya, Ra?”
“Kamu gak tahu gimana tersiksanya aku selama ini, I'm scared. Aku takut sama Rayden yang bisa kapan aja merenggut kamu dalam hidup aku. Aku mencoba menguatkan diri ketika kamu harus selalu berlari menghampiri Rayden yang membutuhkan kamu. Dalam kesendirian, aku memikirkan gimana jadinya hidup aku kalau seandainya perasaan kamu beralih kepada Rayden. KARENA DEMI TUHAN AKU GAK ADA APA-APANYA DIBANDING DIA!”
Naura menunduk, bahunya bergetar hebat. Ia tak berani menatap tunangannya. Gadis itu mencoba menulikan pendengaran meski pada kenyataannya, suara tangis beserta teriakan dari laki-laki di hadapannya masih dapat terdengar dengan jelas.
“Aku gak akan kayak gini kalo kamu gak melangkah terlalu jauh.” Lirihnya, sendu.
Dengan susah payah, Naura berucap dengan suaranya yang serak. “Kalau jatuh cinta sama aku buat kamu jadi orang jahat, berhenti Juan.”
Merasa tenaganya terkuras habis, Naura berjongkok. Kemudian ia menelungkupkan kepalanya di lipatan lutut. Gadis itu kembali menangis sesenggukan dengan suara yang terdengar pilu.
Juan masih tak berkutik di tempatnya. Ia menatap tunangannya dalam diam. Naura tak pernah terlihat semenyedihkan ini. Tatapan kecewa dan tangisannya membuat hati Juan seperti ditusuk ribuan belati.
Laki-laki itu hendak membantu Naura berdiri, sebelum sebuah bogeman menghantam pipinya dengan keras. Naura yang semula menangis kini mendongak sembari menatap kaget ke arah Juan yang tersungkur ke tanah. Refleks ia beranjak berdiri, tatapannya beralih menatap laki-laki lain yang terlihat marah. Rayden.
Nafas Naura tercekat saat tatapannya bertemu dengan kedua mata tajam Rayden. Tak berbeda jauh dengan Juan yang kini ikut kaget akan kehadiran Rayden. Laki-laki itu memegang sudut bibirnya yang berdarah.
Rayden sempat tertawa sinis. Dia menatap Naura dan Juan secara bergantian. “Gue gak nyangka.” ucapnya sebelum berlalu meninggalkan kedua pasangan itu.
Jadi ini alasannya? Alasan dibalik Naura yang tiba-tiba harus pulang lebih cepat. Tunangan? Juan dan Naura? Rayden berusaha mencari seseorang yang mengganggu hidupnya tanpa sadar bahwa seseorang itu ada tepat di depan matanya. Juan yang Rayden anggap sebagai matahari yang selalu berhasil menerangi keluarganya yang redup, Juan yang sudah Rayden anggap sebagai keluarga sendiri, Juan yang Rayden kagumi karena tingkahnya yang bisa menghadirkan tawa dalam keluarganya. Dan kini Rayden dipukul sangat keras oleh kenyataan yang ada, kenyataan dimana Juan adalah jawaban dari segala kecurigaannya. Sahabatnya sendiri dengan tega membahayakan nyawanya sebanyak dua kali.
Rayden berhenti melangkah. Ia mendongak, kedua mata boba yang tak berhenti mengeluarkan air mata itu menatap langit dengan sendu. Rayden tertawa hambar, tawa yang siapapun pasti tahu bahwa suara tawa itu adalah sebuah kepalsuan. Lelucon macam apa ini, Tuhan?