Bukan kamu, kan?
Naura memasuki cafe dengan tergesa-gesa. Ia menatap sekeliling, mencari di mana tempat Rayden duduk sebelum dibawa ke rumah sakit univ. Gadis itu berjalan menghampiri seorang waiters yang kebetulan berdiri tak jauh di depannya. “Maaf, saya boleh tanya sesuatu?”
Waiters yang semula tengah membersihkan meja, menoleh dan mengangguk sopan. “Boleh. Mau tanya apa ya, Kak?”
“Mba, tahu soal mahasiswa yang tadi siang dibawa ke rumah sakit univ, gak?”
“Oh, yang alergi nya kambuh itu, bukan?”
Naura mengangguk. “Iya, Mba. Sebelumnya dia duduk di meja yang mana, ya? Saya mau ngambil lunch box nya.”
“Sebentar ya, kak. Tadi salah satu pegawai di sini ambil lunch box itu.” Naura kembali mengangguk saat waiters itu izin untuk mengambil lunch box yang dia cari.
Setelah menunggu beberapa menit, waiters itu kembali menghampirinya. Mengulurkan lunch box yang masih tersisa banyak beserta surat kecil di atasnya. “Ini ya, Kak.”
Tanpa berpikir panjang, Naura langsung mengambilnya. Ia sedikit membungkuk sopan sebelum berucap. “Terimakasih banyak, mba.”
Saat waiters itu kembali sibuk dengan pekerjaannya, Naura berjalan menuju salah satu meja di sana untuk duduk. Naura menyimpan lunch box itu di atas meja, kemudian meraih surat kecil yang sedari tadi menarik perhatiannya. Ia membaca dalam hati dan bergumam, “Gue? Lo?” Ini bukan tulisannya. Lagipula, bukankah mereka telah sepakat mengubah gaya bicara menjadi aku-kamu? Jadi, siapa dalang dibalik semua ini?
Satu nama terbesit dalam pikirannya. Naura segera menggelengkan kepala, saat dirasa ia telah keterlaluan. Tidak. Tidak mungkin. Naura mengenal bagaimana karakternya, dia tidak akan sejahat itu. Mungkin?
Suara derasnya hujan yang turun secara tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Gadis itu beralih menatap jalanan. Sial, dia lupa membawa payung. Naura beranjak berdiri, ia memasukkan lunch box dan surat kecil itu ke dalam tas nya. Daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik Naura menghampiri Rayden.
Naura berjalan keluar, berdiri di depan cafe itu sembari menatap hujan yang masih turun dengan deras. “Terobos aja kali, ya?” Gumamnya, bingung.
Suara dering telepon yang masuk, mengalihkan atensi Naura. Ia menatap sebuah nama yang terpampang jelas di layar handphonenya, kemudian mengangkat telepon itu tanpa pikir panjang.
“Kamu di mana?”
“Depan cafe.”
“Ngurus soal Rayden?”
Nada suara yang terkesan ketus itu membuat Naura menghela nafas. “Kamu gak jenguk Rayden?”
“Hujan-hujan begini? Enggak, lah. Lagian bang Artha juga ngelarang, katanya jenguk nanti aja pas Rayden udah di apartemen.”
Naura mengangguk sebagai jawaban. Meskipun ia tahu tunangannya itu tak dapat melihatnya.
“Jangan nekat mau nerobos hujan, nanti sakit.”
“Aku harus jenguk Rayden dan jelasin semuanya.”
Hening beberapa saat. Sebelum Naura kembali bersuara, “Bukan kamu, kan?”
“Kamu nuduh aku?”
“Bukan kamu, kan?” Ulang Naura penuh penekanan.
Bukannya menjawab, sosok di seberang sana malah mengalihkan topik. “Sebentar lagi orang suruhan aku datang ke sana buat nganterin payung sama jaket aku. Jadi kamu jangan kemana-mana.”
Setelahnya, panggilan diputuskan secara sepihak. Naura menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sepertinya, keputusan untuk memberi tunangannya kesempatan kedua adalah keputusan yang salah.
15 Menit setelah itu, seorang pria paruh baya berlari menghampirinya. “Dengan Naura?”
“Iya, saya Naura.”
Pria itu mengulurkan jaket dan payung ke hadapan Naura. “Ini titipan dari Tuan—”
“Iya saya tahu.” Naura menyela sembari menerima kedua barang itu. Ia menatap pria yang seluruh tubuhnya basah kuyup itu sembari tersenyum singkat. “Bapak boleh pergi, terimakasih sebelumnya.”
“Baik non, sama-sama. Saya pergi dulu.”
Setelah pria itu tak terlihat lagi di hadapannya, Naura langsung memakai jaket itu. Jaket kesayangan sang tunangan yang sudah sering ia pakai. Kemudian gadis itu membuka payung lipat bermotif bunga-bunga yang dipegangnya.
Naura segera berlari menuju rumah sakit univ saat pesan masuk dari Widya memberitahukan bahwa Rayden telah siuman. Dalam hati gadis itu berdoa, semoga Rayden bisa mempercayainya.