Flashback

23 April 2017

Saat itu Arkana masih menginjak kelas 3 SMP, tepatnya sebentar lagi dia akan lulus. Arkana mengucapkan terimakasih kepada pak supir sebelum turun dari mobil, anak remaja itu berjalan memasuki rumah sembari bersenandung kecil. Dalam hati, Arkana sudah menerka-nerka hadiah apa yang akan diberikan oleh orang tuanya? Mengingat hari ini adalah hari ulang tahunnya. Mereka belum mengucapkan selamat ulang tahun dan Arkana berpikir mungkin kedua orang tuanya sengaja melakukan itu padahal diam-diam mereka telah merencanakan kejutan untuknya. Iya, Arkana telah mengetahui taktik dari mereka.

Wajah antusias yang tercetak jelas di wajahnya luntur begitu saja saat dia melihat mama tengah menangis di ruang tamu. Ada dua orang asing yang duduk di samping papa, seorang wanita dan anak laki-laki seumurannya.

Arkana berjalan menghampiri Adiva —Mamanya— dengan raut wajah khawatir. Dia berjongkok di hadapan mama, diraihnya kedua tangan halus itu dengan lembut. “Mama, kenapa?”

Mama tak menjawab, beliau hanya menangis membuat Arkana beralih menatap Javio. “Papa?”

“Ke sini, papa ingin menjelaskan sesuatu.” Tutur Javio yang langsung dituruti oleh Arkana.

Tangan besar Javio mengusap surai Arkana saat anaknya itu telah duduk di sampingnya. Beliau menatap Arkana sendu, kemudian berucap. “Papa mau jujur. Maaf Arkana, papa pernah tidur dengan wanita lain saat kamu masih 4 bulan.”

“A-apa?” Nafas Arkana tercekat mendengarnya. Anak itu beralih menatap dua orang asing yang duduk di sofa lain.

“Dia wanita itu dan di sampingnya adalah Shaka. Adik tiri kamu—”

Belum sempat Javio menyelesaikan perkataannya, Arkana melempar beberapa gelas yang ada di meja. Menimbulkan suara pecahan yang cukup keras.

“Papa selingkuh?” Arkana menatap Javio tak habis pikir. Bibirnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Dengan pandangan yang buram karena airmata, Arkana menoleh melihat mama. Adiva masih di sana, menangis dengan suara yang lebih kencang.

Javio beranjak berdiri, beliau mendekati Arkana. “Papa minta maaf, papa tahu papa salah. Papa hanya ingin jujur, Arkana. Papa ingin kamu akur dengan Shaka. Kamu mau punya adik, iya, kan?”

Menghempaskan tangan Javio yang menggenggam tangannya, Arkana kembali menatap papa nya itu. “Adik? Haha sialan. Aku memang mau punya adik tapi dari rahim mama, BUKAN DARI RAHIM WANITA PELACUR ITU!”

“ARKANANTA!” Javio berteriak mendengarnya. Arkana tak pernah berbicara kasar selama ini, darimana anaknya mengetahui kata-kata kasar seperti itu?

“Di mana sopan santun kamu?”

Arkana berdecih tak suka, “Persetan dengan sopan santun, seorang pelacur dan anak haram tak pantas dihormati.” ucapnya sarkas sebelum berlari ke kamarnya.

Namun saat Arkana melewati ruang keluarga, dia berhenti. Ruangan itu telah dihias sedemikian rupa, terdapat balon foil bertuliskan Happy Birthday Arkananta di dinding berwarna putih itu.

Ulang tahunnya telah hancur. Kenyataan di mana papa berselingkuh dengan wanita lain sampai memiliki seorang anak seumurannya, benar-benar menghancurkan ekspetasi Arkana mengenai kejutan ulang tahun. Maka dengan perasaan penuh emosi, Arkana melempar asal kue ulang tahun yang ada di meja kemudian dia menghancurkan seluruh hiasan yang ada di ruang keluarga itu.

Ulang tahunnya benar-benar hancur.


“Mama, pasti sakit, ya?” Ini sudah seminggu semenjak papa jujur tentang semua di hari ulang tahunnya. Arkana menatap sendu Adiva yang hanya menunduk diam.

“Sakit, Arka. Tapi mama tak bisa berbuat apa-apa.” Lirih Adiva. Mendengarnya, Arkana menggeram kesal. Semenjak hari itu, Papa mengajak Rania dan Shaka agar tinggal di rumahnya. Arkana sudah berkali-kali menentang tapi papa tak pernah menghiraukan penolakannya.

Arkana mendekati Adiva, dipeluknya sang mama dengan penuh kasih sayang. “Mama, Arka janji bakal buat keluarga kita bahagia kayak dulu, gimana pun caranya. Tunggu saat itu tiba, ya? Tolong bersabar sedikit lebih lama.”


Hari itu kediaman Danendra tengah berkabung. Kematian dari Rania meninggalkan rasa sakit yang mendalam di hati Javio terutama di hati Shaka. Suara sesenggukan dari Shaka yang tengah menangis menjadi backsound di ruang keluarga yang hening itu.

Javio menarik Shaka ke dalam dekapannya. Tangannya terulur mengusap surai Shaka dengan lembut sembari berucap, “Yang ikhlas ya, Nak.”

“Ayah, ibu pergi..” kata Shaka terbata-bata.

“Ibu ninggalin Shaka.”

“Shaka udah gak punya siapa-siapa sekarang.” Shaka semakin terisak setelah mengucapkan itu. Sekarang dia hanya sendirian di dunia ini.

Lantas Javio menggelengkan kepala tak setuju. “Kamu gak sendiri, sayang.”

“Ada ayah di sini. Kamu juga punya mama Adiva dan punya kak Arkana.” Lanjut Javio.

Saat namanya di sebut, Arkana yang semula pura-pura sibuk bermain handphone, melempar benda digital itu. Dia beranjak berdiri, menatap Shaka dengan penuh kebencian. “Gue gak sudi punya adik anak haram.” ucapnya sebelum pergi meninggalkan ruang keluarga.


“Mama, ayo kita usir Shaka dari rumah ini!”

“Gak boleh sayang, kasian Shaka.”

Arkana berdecak kesal. “Kenapa sih, mama peduli sama dia? Dia anak papa dengan wanita pelacur itu, Ma. Dia anak haram!”

“Tapi terlepas dari itu semua, Shaka tidak salah apa-apa, Arkana.”

“Terserah, Arkana kecewa sama mama.”


“Sekolah asrama, ya?” Gumam Arkana. Dia menyeringai mengingat perkataan papa beberapa jam yang lalu.

Javio meminta agar Arkana dan Shaka melanjutkan sekolahnya di school dream. Itu artinya mereka akan lepas dari pantauan Javio dan Adiva, iya kan?

Tersenyum kemenangan, Arkana kembali bergumam. “Ini kesempatan yang bagus buat melukai Shaka.”

“Adik tiriku yang malang. Harusnya lo dan ibu lo itu gak usah kembali ke kehidupan papa, dengan begitu gue gak perlu repot-repot ngelakuin hal sekejam ini.”

“Tapi nasi udah jadi bubur.”

“Shaka, gue sendiri yang akan mengantar lo ke jalan kematian. Supaya lo bisa hidup sengsara di atas sana bersama wanita pelacur itu.”