Butuh waktu

Di tengah teriknya sinar matahari, Rayden berjalan sendirian di kawasan kampus. Pemuda itu hendak pulang mengingat dosennya tiba-tiba berhalangan hadir. Rayden mengedarkan pandangannya, banyak mahasiswa berlalu lalang di sini dan tak ada satupun yang ia kenal. Biasanya selalu ada kedua—

Rayden refleks menggelengkan kepala sebelum pikirannya mulai mengingat mereka. Kedua kaki jenjang yang melangkah secara bergilir itu tiba-tiba berhenti. Anehnya, ketika ia bahkan tak membiarkan mereka masuk ke dalam pikiran, semesta berkata lain.

Kedua bola mata boba itu berubah tajam. Menatap Juan dan Dion yang berdiri tak jauh di depannya. Kedua pemuda itu muncul dari arah yang berbeda, Juan dari arah kiri dan Dion yang muncul dari arah kanan. Entah mengikuti naluri masing-masing atau bagaimana, mereka termasuk dirinya sendiri refleks menghentikan langkahnya secara bersamaan.

Untuk sesaat Rayden merasa waktu berhenti berputar, ia merasa hanya ada dirinya bersama kedua sahabatnya di sini. Seketika atmosfer tak mengenakan menyelimuti mereka.

Rayden tak pernah mengira bahwa mereka bertiga akan menjadi seasing ini. Tak lagi bertegur sapa bahkan hingga melempar candaan. Tiga sekawan, yang kata orang-orang tak terpisahkan nyatanya kini menjadi sejauh ini.

Tuhan beserta semesta bahkan tahu bahwa Rayden tak pernah sekalipun menyesal mengenal kedua sahabatnya. Apa yang perlu Rayden sesalkan? ketika hanya ada rasa aman saat mereka bertiga berkumpul. Ketika hanya ada tawa di saat mereka menghabiskan waktu sedari SMA.

Mulanya, semuanya berjalan lancar.

“Juan, gue pengidap sindrom little space. Lo masih mau temenan sama gue?”

“Gue udah tahu dari Dion. Terus masalahnya di mana? gue masih mau kok temenan sama lo.”

“Gue cuma takut nyusahin lo nantinya.”

“Gapapa, selama kita temenan gue bisa lakuin semua yang terbaik buat lo.”

Juan yang menerima kekurangannya dengan tangan terbuka.

“Gue tadi ngelakuin apa aja?”

“Gak ada hal aneh yang lo lakuin, tenang aja. Kita langsung pulang waktu sadar Aden mengambil alih tubuh lo.”

“Makasih karena langsung bawa gue pulang, Dion.”

Dion yang selalu bisa ia percaya.

“Kalau bang Artha nginep di rumah temennya berarti lo sendirian di apartemen?”

“Ya, iyaa.”

“Yaudah, kita nginep aja di apartemen lo. Mau kan, Dion? daripada si Ray sendirian.”

“Udah gak usah, gue bisa jaga diri kok.”

“Enggak, kita tetep nginep!”

“Gue ngikut Juan aja.”

“Sip, ntar kita main PS sampai pagi!”

Mereka yang selalu menjaganya bahkan tanpa ia pinta.

“Kalian gak malu temenan sama orang yang mentalnya rusak? pftt, temenan kok sama orang yang gak bisa dewasa.”

“Tutup mulut lo, sialan. Mulut kotor lo itu gak berhak menghina temen gue!”

“Dion, Dion.. dikasih apa sih kalian sama Rayden sampai segitunya? kalian bahkan repot-repot ngurus Rayden waktu dia kambuh. Kalian sembunyiin aib dia dari semua orang. Kenapa? semua itu karena kasihan, kan? mau gue aja yang sebarin soal aibnya?”

“Berhenti, brengsek. Lo gak punya hak buat ngatur harus sama siapa Dion ataupun gue berteman.”

“Kita gak peduli sama pandangan lo. Silahkan buat satu kelas benci sampai jauhin Rayden, tapi jangan harap gue sama Dion bisa termakan omongan lo.”

“Kita bakal selalu temenan sama Rayden.”

“Inget itu, Marvel.”

Dan terakhir, perbincangan yang diam-diam Rayden dengar ketika masih sekolah menengah atas.

Semua yang Dion maupun Juan lakukan padanya, membawa mereka sampai di titik ini.

Ada banyak hal mengecewakan di dalam persahabatan mereka, meski tak dapat dipungkiri kebahagiaan lebih mendominasi.

Dengan segala pikiran yang berkecamuk. Rayden memilih melanjutkan langkahnya. Menembus jalan tengah di antara Juan dan Dion yang berdiri di sisi yang berlawanan.

Rayden tak repot-repot menyapa, ketika hatinya bahkan sangat ingin bertanya bagaimana kabar mereka. Rayden terus melangkah, ketika raganya sangat ingin berbalik dan mengajak mereka untuk saling bertukar cerita hingga keluh kesah.

Dia ingin semuanya kembali seperti dulu namun merasa masih belum siap. Rayden hanya membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Mereka telah membuatnya kecewa dan Rayden tentu harus bisa menyembuhkan lukanya terlebih dahulu.

Rayden tak tahu di belakang sana Juan dan Dion saling memalingkan wajah sebelum kemudian memilih pergi ke arah yang berlawanan.

Segala sesuatu yang telah rusak, butuh waktu untuk diperbaiki. Misalnya, persahabatan mereka.