Kembali
Di sinilah Dion berakhir. Berlutut di hadapan Ardan dan Artha yang hanya diam. Tangannya dengan gemetar meraih tangan yang lebih tua, “Om, Dion minta maaf.” Suara yang terdengar serak itu tak kunjung mendapat jawaban.
Dion beralih menatap kakak dari sahabatnya. “Bang Artha,” Panggilnya, berharap setidaknya Artha menjawab. Namun, yang didapat hanya Artha yang memalingkan wajahnya.
“Dion gak bermaksud buat merahasiakan semuanya. Dion punya alasan kenapa selama bertahun-tahun memilih bungkam.”
Merasa dadanya mulai sesak, pemuda itu menghela nafas panjang sebelum kembali berucap, “Om, Dion—”
“Om tidak menyalahkan kamu atas semuanya.” Ardan dengan cepat menyela. “Karena bagaimanapun saat itu kamu masih seorang anak kecil yang takut dipisahkan dengan ibu kandung kamu sendiri. Tapi yang paling om sesalkan adalah kenapa bisa-bisanya om lengah, terlalu fokus mencurigai semua musuh hingga tanpa sadar bahwa sahabat om sendiri yang menjadi pelakunya. Seseorang yang selama ini om cari.”
Ardan membantu Dion agar berdiri. “Kamu tahu, Diondra?” Tanyanya tepat ketika pemuda itu berdiri tegak di hadapannya. “Sehari sebelum semuanya terjadi, Renata meminta izin untuk ikut menghadiri pesta yang diadakan di kantornya. Om sempat sangsi untuk memberi izin sebelum pada akhirnya sadar bahwa papa kamu bekerja di perusahaan yang sama dengan Renata. Om percayakan istri om kepada papa kamu. Hingga esok harinya, Renata belum juga pulang. Hari itu juga om menyusul ke kantor, tanpa menyadari bahwa ponsel om tertinggal di rumah. Satpam di sana bilang acara selesai pukul 2 pagi, Renata harusnya sudah pulang. Mengingat om memperingatinya agar pulang sebelum pukul 12 malam. Om langsung kembali pulang ke rumah, berharap Renata sudah ada di rumah.”
“Kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya?” Pertanyaan itu dijawab gelengan oleh Dion. Dia tak berani bersuara dan hanya bisa mendengarkan semuanya dalam diam. “Istri om belum juga pulang, Diondra. Tiba-tiba aja ada nomor asing kirim om pesan, katanya datang ke gedung yang sudah lama tak terpakai di jalan mawar. Seseorang di seberang sana bilang bahwa dia mengetahui keberadaan Renata.”
“Om sampai di gedung itu. Bersama Artha yang semula memaksa ingin ikut. Om pikir di sana om bisa langsung bertemu Renata, kemudian membawanya pulang ke rumah agar Rayden yang tengah dijaga oleh Jeffery berhenti menangis. Tapi yang didapat hanya sebuah tubuh yang terbaring kaku di lantai.”
Ardan bergerak mengusap pipinya. “Om menemukan istri om dalam keadaan tidak bernyawa.” Dia beralih menatap putra sulungnya yang kini ada dalam pelukan Mela. “Satu lagi yang om sesalkan, harusnya hari itu om gak membawa Artha datang ke gedung. Artha juga masih belum dewasa saat itu, gak sepantasnya dia mengetahui bahwa ibu kandungnya diperlakukan keji.”
“Bertahun-tahun om mencoba merahasiakan penyebab kematian Renata dari Rayden. Kamu sendiri tahu gimana kondisi putra bungsu om. Terpaksa om dan Artha merahasiakan semuanya, kami sepakat memberi tahu Rayden bahwa Renata meninggal karena serangan jantung. Kami jadikan penyakit jantung koroner Renata sebagai alasan. Om bersyukur karena Rayden percaya.”
Dion masih bungkam. Bibirnya menjadi kelu saat Ardan bertanya, “Sekarang apa yang harus om katakan pada Rayden, Diondra?”
Tepat saat itu juga, sebuah bogeman mendarat di wajah Dion. Pemuda itu sampai tersungkur ke bawah, dia tak melawan saat Rayden mencengkram kerah bajunya. “Juan bener, lo lebih brengsek daripada dia.” Desisnya marah.
Awalnya Rayden berpikir bahwa dia tengah bermimpi saat televisi yang ada di rumah Jeffery menayangkan berita yang sama di seluruh salurannya. Sudah dua hari semenjak dia menginap di rumah dokter pribadinya itu. Hingga pagi tadi dia dikejutkan dengan berita yang mengatakan bahwa bundanya menjadi korban dari perbuatan keji yang dilakukan papa Dion.
“Jadi ini alasan sebenarnya? alasan di balik lo yang bersikap bak malaikat?” Rayden kembali memukuli Dion tanpa ampun, “Sialan, selama ini lo cuma ngerasa bersalah karena papa lo melecehkan dan membunuh bunda gue!”
“Gue buru-buru pulang ke rumah, berharap kalau berita itu gak bener. TAPI NGELIAT LO ADA DI SINI CUKUP BUAT GUE SADAR KALAU BERITA ITU EMANG BENER!”
Dion mencoba beranjak berdiri, pemuda itu terbatuk-batuk sembari meringis memegang perutnya yang sakit. Pukulan Rayden memang bukan main kerasnya. “Ray, gue minta maaf.” Nafasnya bahkan tercekat hanya dengan menyuarakan kalimat itu.
“Maaf lo bilang?” Sahut Rayden tak habis pikir. Dia berjalan mendekati sahabatnya, “Maaf lo gak akan pernah buat bunda gue kembali!” Sentaknya keras.
Rayden beralih menatap Ardan dengan pandangan kecewa. “Pembohong.” Gumamnya.
“KALIAN SEMUA PEMBOHONG!”
Pemuda kelahiran Juli itu berjalan mendekati sang kakak. Dicengkeram kerah baju Artha dengan erat, “Lo satu-satunya orang yang paling gue percaya, Bang. Lo orang yang jadi tempat gue berlindung di saat papa mulai gak mempedulikan gue. KENAPA LO HARUS IKUT BOHONG?”
“Rayden, papa bisa jelasin semuanya.” Ardan mencoba meraih tangan Rayden. Namun anak bungsunya itu mulai memberontak. Rayden bergerak menjauh, tak membiarkan dia menyentuhnya.
“Rayden juga anak bunda, Pa.” katanya dengan suara yang serak. Dia menatap sang papa dengan pandangan yang buram karena air mata. “Rayden berhak tahu penyebab kematian bunda.”
“TAPI KENAPA KALIAN TEGA BOHONGIN RAYDEN?” Rayden kembali berteriak keras bersamaan dengan air mata yang mulai luruh.
“Karena papa tahu kamu akan sehancur ini kalau tahu semuanya, Rayden!” Jawab Ardan pada akhirnya. “Papa cuma gak mau buat kesehatan kamu menurun, papa mencoba menjaga perasaan kamu.”
Suara isakan Rayden mulai terdengar jelas. Dia beringsut mundur, kemudian perlahan terduduk di lantai yang dingin. Kedua kakinya ditekuk, dia menyembunyikan wajahnya kemudian menangis lebih keras.
Bundanya terus dipanggil di sela tangisnya. Artha tentu tak bisa diam saja saat sang adik meringkuk dengan punggung yang bergetar. Lantas dia bergerak mendekat, sebelum sedetik kemudian berhenti saat Rayden bersuara, “Kakak cantik.”
Dengan cepat Artha beralih menatap Dion dan kedua orang tuanya secara bergantian. Artha sudah menduga bahwa hal ini akan berdampak buruk bagi kesehatan Rayden. Namun mengetahui bahwa sindrom sang adik kembali kambuh, tetap membuatnya terkejut. Padahal dia sudah berharap Rayden bisa mengontrol emosinya.
Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya. Bersimpuh di hadapan Aden yang masih menangis. “Aden,” Yang dipanggil langsung mendongak dengan mata boba yang memerah.
“Kak Atha…”
“Aden mau kakak cantik. Semua orang jaat, Aden ndda suka!” Anak itu mengadu. Praktis membuat Artha sedikit terkekeh. Sudah lama sekali dia tak melihat adiknya bertingkah seperti anak kecil. Aden masih sangat manis di matanya.
Artha beralih menatap Dion, “Tolong bawa Naura ke sini.” Meski suaranya terdengar dingin dia bersungguh-sungguh meminta tolong dengan tulus.
Maka detik itu juga Dion beranjak pergi dari kediaman Ardan. Dia akan membawa Naura bagaimanapun caranya. Dion hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Rayden, meski perbuatannya kini tak dapat menebus semua kesalahannya.