Sudah menjadi seharusnya

“Ma, makan dulu y—”

Prang

Ini yang ketiga kali, mama-nya tak mau makan sesuatu yang dia bawa. Dion menghembuskan nafas pelan, menatap nanar nasi goreng yang baru saja dibuatnya berserakan dengan beberapa pecahan piring di lantai.

Pemuda itu berjongkok, bergerak membersihkan pecahan piring sebelum ke luar dari kamar sang mama tanpa mengatakan apapun. Bertepatan ketika ia berpapasan dengan bi Inah asisten di rumahnya, Dion segera berucap, “Bi, tolong siapin makanan buat mama, ya.”

“Sekalian tolong bersihin nasi yang ada di lantai sama beling-beling kecilnya. Jangan lupa pake sarung tangan.” Setelahnya Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur, menciptakan tatapan sendu dari wanita paruh baya yang menjadi asisten rumahnya.

Kekehan terdengar saat Dion membuang pecahan piring yang ada di tangannya ke tempat sampah. “Mama gak mau makan apapun yang udah gue pegang.”


“Mama butuh sesuatu?” Dion bertanya hati-hati ketika ia masuk ke dalam kamar Anya.

Yang ditanya sempat terdiam, sebelum menjawab. “Usir wartawan yang datang ke sini.”

Sontak hal itu membuat Dion melangkah mendekati jendela. Menyibak gorden kemudian menghela nafas kasar saat melihat satpam rumahnya sedang mencegah beberapa wartawan untuk masuk.

Ini sudah seminggu lebih dan sepertinya para wartawan itu tak kenal lelah. Mereka selalu datang ke rumahnya, hanya untuk meminta sang mama keluar dan bersedia diajak wawancara.

Berbicara dengan anaknya saja tak mau. Apalagi berbicara dengan orang asing seperti mereka. “Mama tenang aja, wartawan itu gak akan bisa masuk ke dalam rumah kita.”

Anya memalingkan wajah saat anak tunggalnya itu menghampiri kemudian duduk di kasurnya. “Mama, masih gak mau maafin Dion, ya?” Anya ingin sekali memeluk tubuh itu saat mendengar suara sang anak. Namun egonya tetap dipertahankan, dia masih merasa kecewa. Perasaannya dibuat sesak mengingat Dion yang telah melaporkan suaminya ke polisi.

Anya tahu suaminya salah. Namun tetap saja tak sepantasnya Dion berbuat seenaknya sampai membeberkan aib dari papa-nya sendiri. “Keluar.” Lagi-lagi hanya kata itu yang Anya suarakan.


“Kamu gak peduli sama papa?”

“Anak nakal. Papa bisa aja main uang supaya gak dipenjara. Papa bisa bebas tanpa bantuan kamu.”

“Jangan macam-macam, Pa. Terima aja hukumannya, papa pantas dipenjara.”

“Aku bisa laporin ke kakek kalau semisal papa nekat.” Erangan frustasi yang terdengar dari seberang sana mampu membuat Dion tersenyum kecil. Papa-nya itu tak bisa melawan jika sudah berurusan dengan sang kakek, ayahnya sendiri.

Mungkin ini memang sudah jalannya. Dion tak perlu repot-repot melaporkan papa-nya karena sudah ada Juan yang tanpa sadar menjadi perantara. Kini ia tak perlu merasa terbebani karena telah menyembunyikan kesalahan Dewa. Dion hanya ingin papa-nya sadar dan mendapatkan hukuman. Penjara belasan, puluhan, atau bahkan seumur hidup, Dion tak akan lagi peduli. “Papa jangan khawatir, aku bisa jaga mama di sini. Soal perusahaan ada kakek yang handle dan lagi jangan pernah hubungi kami. Tunggu sampai aku dan mama datang dengan sendirinya. Aku harap papa bisa sadar bahwa semua yang papa lakukan pada bunda Renata adalah sebuah kesalahan besar.”

“You took away one of my worlds.”

Dion menutup panggilan tanpa menunggu respon dari sang papa. Pemuda itu mengacak kasar rambutnya, dia benar-benar tak akan memperdulikan lagi pria yang menyandang status sebagai ayahnya itu. Sekarang, Dion hanya perlu meyakinkan mama, bahwa semuanya yang terjadi sudah menjadi seharusnya.